YESUS KYRIOS
TERAH Y. MANU
SEKOLAH TINGGI THEOLOGI INJILI ARASTAMAR
(SETIA)
JAKARTA, 2010
Daftar Isi
Hal
Daftar Isi i
I. Pendahuluan 01
II. Isi 03
II.1. Perkembangan Penggunaan Kyrios sebelum Zaman Perjanjian Baru 03
II.1.1). Penggunaan Kyrios dalam dunia Yunani – Romawi 03
II.1.2). Penggunaan Kyrios dalam Yudaisme 04
II.2. Perkembangan Penggunaan Kyrios dalam Zaman Perjanjian Baru 08
II.2.1). Penggunaan Kyrios dalam Perjanjian Baru 08
II.2.1.a). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Manusia 08
II.2.1.b). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Allah 09
II.2.1.c). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Yesus 10
II.2.2). Yesus Kyrios 11
III. Kesimpulan 16
Daftar Pustaka 17
YESUS KYRIOS
I. Pendahuluan.
Salah satu sebutan yang paling sering dikenakan pada Yesus dalam Perjanjian Baru adalah Kyrios (Bhs. Yunani). Istilah Kyrios (“Tuhan”), yang menjadi pokok pengakuan bagi gereja perdana mengenai Yesus, mempunyai pengguna - pengguna yang luas pada zaman dahulu. Maka penting untuk menyelidiki beberapa di antaranya sebelum memeriksa bagaimana penggunaan istilah Kyrios dalam Perjanjian Baru. Apakah makna Kyrios dalam Perjanjian Baru sama dengan atau lebih dari makna Kyrios yang digunakan pada zaman dahulu?
Berkenaan dengan adanya beberapa pengguna kata Kyrios, maka ada kemungkinan dan tendensi untuk keliru dalam menentukan istilah yang tepat dalam terjemahan, sehingga dapat dipermasalahkan. Dan ternyata, penterjemahan kata “Kyrios” dalam Alkitab seringkali dipermasalahkan oleh kalangan non-Kristiani dan kalangan dari Unitarian.
Permasalahan terjemahan “Kyrios” sebagai “Tuhan” dalam Alkitab LAI yang ditujukan kepada Yesus Kristus, itu dipersoalkan karena bobot kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia adalah lebih dari sekedar “tuan”. Karena kata “Tuhan” ini lebih bermakna “Tuan yang ilahi” atau gelar “Tuan” yang ditujukan untuk Allah, yaitu Tuan dari segala tuan.
Sehubungan dengan hal ini, Herlianto mengatakan bahwa, puncak dari segala kontroversi tentang diri Yesus adalah ke’Tuhan’an-Nya. Dan memang demikian terjadi dalam permulaan sejarah gereja, dimana pengakuan bahwa Yesus adalah Kyrios telah mengakibatkan bentrokan antara Negara Romawi dengan Gereja Kristen. Pada umumnya pemerintah Romawi bersikap lunak terhadap pelbagai agama di dalam negaranya. Akan tetapi terhadap gereja Kristen tak dapat tidak pemerintah itu harus bertempur. Sebab pengakuan radikal, yang diproklamirkan oleh gereja ialah: bukanlah kaisar atau sesuatu yang lain yang dipertuan, melainkan Yesus Kristus adalah Kyrios. Bahkan dalam sebuah bukunya yang lain, Herlianto menuliskan beberapa pertanyaan penting, yaitu: Apakah Yesus adalah Tuhan? Apakah sebutan atau gelar “Tuhan” yang disandang Yesus itu diperoleh karena manusia yang mengangkat-Nya, ataukah pada diri-Nya sendiri ketuhanan itu sudah ada? Kalau sudah ada, apakah itu ada sejak lahir-Nya (inkarnasi Yesus), dan bahkan sebelumnya (praeksistensi Yesus), ataukah ketuhanan itu baru dinyatakan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga?
Masalah – masalah yang telah disebutkan itu mendorong penulis untuk membahasnya dalam makalah ini. Adapun susunan pembahasannya sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Isi
II.1. Perkembangan Penggunaan Kyrios sebelum Zaman Perjanjian Baru.
II.1.1). Penggunaan Kyrios dalam dunia Yunani - Romawi
II.1.2). Penggunaan Kyrios dalam Yudaisme
II.2. Perkembangan Penggunaan Kyrios dalam Zaman Perjanjian Baru
II.2.1). Penggunaan Kyrios dalam Perjanjian Baru
II.2.1.a). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Manusia
II.2.1.b). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Allah
II.2.1.c). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Yesus
II.2.2). Yesus Kyrios
III.Kesimpulan
II. Isi
II.1. Perkembangan Penggunaan Kyrios Sebelum Zaman Perjanjian Baru
Sebelum zaman Perjanjian Baru, istilah Kyrios digunakan dalam dua konteks yaitu konteks sekuler dan konteks religius. Dan ternyata oleh para pengguna istilah tersebut; ada yang menggunakannya hanya dalam konteks sekuler, ada juga yang menggunakannya hanya dalam konteks religius, dan bahkan ada yang menggunakannya dalam kedua konteks tersebut. Penggunaan Kyrios dalam konteks – konteks inilah yang akan memperlihatkan maknanya masing – masing. Dan berikut ini akan dikemukakan penggunaan Kyrios sebelum Zaman Perjanjian Baru .
II.1.1). Penggunaan Kyrios dalam dunia Yunani – Romawi
Pada permulaan zaman Hellenistis, kata benda Kyrios masih jarang dipakai, dan kata itu digunakan di dalam suatu pengertian yang sempit untuk raja, pemilik, seseorang yang berotoritas penuh. Hal ini diperjelas oleh Robbyanto Notomihardjo dengan mengutip pernyataan Oscar Culmann, bahwa di dalam dunia Hellenistis, arti kata Kyrios tidak murni berkaitan dengan suatu keagamaan, karena kata itu secara umum digunakan sebagai suatu gelar karena rasa hormat. Di dalam konteks ini, istilah Kyrios mempunyai arti " Tuan" dan “Pemilik.” Dengan demikian istilah Kyrios itu digunakan hanya sebagai suatu sebutan kehormatan tidak diartikan lebih daripada bahasa Perancis "Monsieur" atau bahasa Inggris "Sir". Dalam hal ini, istilah Kyrios itu digunakan sebagai suatu sebutan kepada suatu individu yang terhormat seperti seorang bangsawan.
Akan tetapai, jika para dewa dan para penguasa yang kemudian disebut Kyrioimaka itu berarti pemakaian istilah tersebut telah berkembang di Hellenisme. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian kata Kyrios juga berkembang pada suatu pengertian yang religius, sampai istilah itu juga mempunyai suatu konotasi khusus dari ketuhanan. Menurut Yusuf A. Fitzmyer, tulisan religius masa lampau dari Asia Kecil, Aram, dan Mesir mengacu pada para dewa dan dewi-dewi seperti Isis, Osiris dan Serapis sebagai Kyrios atau Kyria.
Sebagai contoh, kita mempunyai bukti dari pemakaian istilah di dalam papyri dan prasasti-prasasti yang tak terbilang Serapis ("Aku berterima kasih kepada Kyrios Serapis bahwa ketika aku di dalam risiko di laut, ia mengamankan aku dengan segera," surat dari Apion, prajurit di dalam angkatan laut Roma, kepada ayahnya, abad kedua sM.). Atau sebuah surat dari seorang putra kepada ibunya, Nilus, di dalam abad yang kedua sM. "Aku berdoa syafaat untuk engkau dari hari ke hari kepada Kyrios Serapis". Dan Leon Morris mengutip sebuah undangan makan malam yang kuno “Anthonius, putera Ptolemeus, mengundang anda untuk bersantap bersamanya di meja Kyrios Serapis…” Maka, sungguh jelas di dalam konteks-konteks ini bahwa istilah Kyrios mengandung arti keilahian yang dapat menjawab doa-doa dan berhak mendapatkan terima kasih atas pertolongan ilahi. Pengembangan ini kelihatannya melewati pemakaian kyrios di dalam periode Yunani klasik di mana istilah itu mengacu pada dewa dengan kuasa yang besar daripada seseorang atau kelompok orang-orang tetapi belum kelihatan suatu sebutan ilahi. Dengan kata lain penting bagi kita arti kebenaran bahwa kaisar Roma sejak dulu waktu Nero dipanggil Kyrios dengan arti ketuhanan. Namun walaupun ia dituhankan, ia juga dikenal sebagai seorang manusia. Sebagai contoh, dari sebuah ostrakon memberi tanggal 4 Agustus, sM. "Di dalam tahun sembilan Nero Kyrios." Bahkan sebelum zaman ini, di dalam bagian Timur dari kerajaan dan di Mesir khususnya kaisar itu disebut Kyrios dalam arti lebih dari manusia. Sebagai contoh, Oxyrhynchus papyrus 1143, yang mana tangal – tanggal pada tahun 1 sM, berbicara tentang korban dan persembahan kepada dewa "untuk Allah dan Kyrios Kaisar" [Augustus]. Bahkan dalam tahun 12 sM. ada satu prasasti untuk Augustus sebagai theos kai kyrios, "Allah dan Tuhan". Ini berarti ketuhanan dianggap suatu karakter yang kelihatan dalam pribadi kaisar. Maka ketika seseorang telah menggunakan istilah Kyrios Kaisar, pada saat itu ia sedang mengakui kesetiaannya kepada kaisar dalam dua hal, yaitu politis dan pengertian yang religius. Ini menunjukkan bahwa pemahaman kata membawa suatu hubungan erat antara politik dan agama yang sekuler.
Dengan demikian, kata Kyrios yang digunakan dalam Yunani – Romawi tidak merujuk kepada Allah, melainkan merujuk kepada para dewa ataupun dewi, dan para penguasa yaitu raja ataupun kaisar. Dan mengandung pengertian memiliki kuasa tertentu.
II.1.2). Penggunaan Kyrios dalam Yudaisme
Sepanjang abad – abad dalam mana Perjanjian Lama ditulis nama Yahweh-lah yang dipakai. Tapi pada zaman antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (lebih kurang 400 – 50 sM) orang mulai merasa bahwa nama YHWH terlalu mulia untuk disebutkan. YHWH boleh dituliskan (setelah membersihkan tubuh) tapi tidak boleh disebutkan. Akibatnya timbul kesulitan bila membaca Alkitab dengan suara nyaring, khususnya di rumah ibadat. Karena itu orang Yahudi yang sungguh – sungguh ortodoks menempuh kebijaksanaan dengan mengganti YHWH dengan sebutan ‘Adonai’ bila nama yang terlalu mulia itu ditemukan dalam ayat Alkitab. Hingga masa kini orang Yahudi yang sungguh – sungguh tulen ortodoks terus melakukan hal yang sama. Para penterjemah Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani (di kota Alexandria pada tahun 250 sM; terjemahan itu disebut LXX = Septuaginta), sewaktu menghadapi kesulitan menyalin YHWH, menempuh kebijaksanaan memilih kata ‘Kyrios’ yang berarti ‘Tuhan’, ‘pemilik’. Mengapa penterjemah LXX tidak mempertahankan YHWH? Mengapa para penyalin, entah pada tahap oral atau kemudian tahap tulisan, tidak mempertahankan YHWH? Hal ini sulit dipastikan. Biasanya dalam proses penterjemahan dimana penterjemah berhadapan dengan persoalan kebudayaan, yaitu bagaimana bisa menyampaikan berita Alkitab (yang berkebudayaan Yahudi dan Yunani – Romawi atau campuran dari kebudayaan – kebudayaan itu) kepada kebudayaan penerima / sasaran, maka yang paling utama ialah menyampaikan gagasan Alkitab (termasuk istilah – istilah) yang dapat diterima dalam kebudayaan penerima / sasaran. Dalam proses ini seringkali makna dalam bahasa sumber tidak bisa seratus persen sama dengan makna dalam bahasa penerima, untuk itu penterjemah akan mencari kata yang paling dekat dengan memperhatikan komponen – komponen kata itu. Biasanya penterjemah akan memakai kata dalam bahasa penerima / sasaran yang sudah diterima secara umum dan diberi makna baru. Andreas Hauw berpendapat bahwa, atas konsep inilah maka penterjemah LXX tidak mentransliterasikan kata YHWH tetapi memakai kata Kyrios dan Elohim menjadi Theos.
Menurut Louis Berkhof, Kyrios dipakai untuk menyebut Allah dalam Septuaginta. Kyrios sebagai nama yang setara dengan Yahweh, Kyrios sebagai pengganti nama Adonay, dan Kyrios sebagai terjemahan gelar penghormatan yang dinaikkan oleh manusia kepada Allah, Yosua 3:11; Mazmur 97:5. Pada sisi lain bahasa Aram untuk Kyrios adalah Mar. Di dalam LXX Kyrios digunakan lebih dari 9000 kali, dan sekitar 6156 yang digunakan pada waktu itu untuk menterjemahkan Yahweh. Selain Kyrios yang digunakan untuk Yahweh itu ditemukan dalam Septuaginta, ada juga Kyrios yang digunakan untuk Yahweh yang dapat ditemukan tidak hanya di dalam tulisan – tulisan Yosephus dan Philo tetapi bahkan sejak dulu ada dalam kebijaksanaan Salomo (sekitar 27 kali). Untuk makna khusus, Yosephus berkomentar bahwa awalnya orang - orang Yahudi menolak untuk memanggil kaisar kyrios dengan tepat karena mereka menghormati itu sebagai suatu nama yang disediakan bagi Allah.
Berkenaan dengan penggunaan Kyrios dalam Septuaginta yang hanya disediakan bagi Allah sebagaimana komentar Yosephus di atas, ternyata itu berbeda dengan pendapat Baudissin (26 Sept.1847 – 6 Feb.1926) seorang teolog Protestan Jerman dan menjadi figur yang terkemuka di Sekolah Sejarah Agama. Yang ketika mempertahankan kebenaran disertasinya, ia menyatakan bahwa di dalam Perjanjian Lama, penyebutan Adony juga digunakan oleh orang - orang yang independen, yang hanya menggunakannya dalam rangka untuk mempercayakan seseorang berbicara supaya mereka menghormati dia dan ingin berhubungan dengan dia. Dalam hal ini, Baudissin lalai melihat bahwa dalam konteks seperti itu memerlukan suatu jati diri dari pembicara sebagai pelayan. Dan bahwa sekali pun ini tidak diartikan secara harafiah, ini masih menyangkut kepercayaan dari seorang pembicara terhadap orang yang menunjuknya. Ia menyatakan kepatuhan. Fakta bahwa gebira (Ibrani) digunakan untuk ratu, tidak disumbangkan oleh Kyria, seperti di tempat lain, meskipun menurut ungkapan-ungkapan yang dengan tegas menandakan aturan. Janganlah dihubungkan dengan fakta bahwa Kyria hanya menyatakan keunggulan dan bukan aturan, tetapi pada keadaan itu tidak digunakan terutama untuk “ratu." Kebanyakan hal yang dikutip oleh Baudissin, Kyria tidak akan cukup eksplisit, karena ratu itu adalah juga Kyria dalam hubungan dengan para budaknya. Lebih baik untuk mulai dengan arti kata dari bahasa Yunani di dalam zaman LXX. Karena Kyrios waktu itu tidak digunakan sebagai satu julukan untuk Allah di dalam penyembahan berhala. Penggunaan oleh etnik yang diuraikan dengan terinci oleh Baudissin tidak memiliki hubungan dengan LXX. Pada zaman Hellenistis pemakaian pertama secara khusus muncul, Kyrios menandakan seseorang yang mempunyai kuasa sah menurut hukum untuk pembuangan. Unsur legalitas ditekankan karena menyumbangkan tetragrammaton dari Kyrios terjadi sepanjang LXX dan dengan demikian kembali ke langkah pertama dari terjemahan ini. Karena pilihannya pada Kyrios daripada despotes, yang juga mungkin dan barangkali lebih alamia dalam penggunaan istilah ini. LXX membuat suatu pernyataan tegas dan yang kuat dari fakta bahwa posisi Yahweh sebagai Kyrios adalah sah. Pernyataan ini dapat didasarkan pada fakta historis dari pemilihan Israel. Ia yang menebus Israel dari Mesir dengan demikian berhak atas orang – orang ini. Meskipun begitu, pernyataan ini dapat juga didasarkan pada fakta bahwa Allah adalah Pencipta. Ia yang telah membuat alam semesta dan manusia sehingga sah menjadi Tuhan mereka. Baudissin mendukung alternatif yang pertama. Suatu argumentasi utama untuk ini, terlepas dari apa yang telah disebutkan, bahwa Kyrios kadang-kadang digunakan untuk Elohim dengan akhiran. Namun kita tidak bisa pastikan dengan mutlak alasannya karena kadang – kadang penyimpangan dari Masoret. Ini juga terbuka untuk meragukan LXX, kalau pilih satu padanan untuk YHWH (kalau, seperti Baudissin telah membantah di dalam penyelidikannya yang terperinci, LXX itu tidak dipengaruhi oleh penggantian Adonay untuk YHWH), pasti akan membatasi diri sendiri kepada suatu kata yang hanya berarti atasan, seorang yang memberi dirinya kepada mereka yang menghormati dia. Di atas semuanya, arti yang Baudissin sematkan kepada Kyrios di dalam LXX muncul bukan dari kata Yunani maupun dari penggunaan yang sebenarnya di dalam LXX. Dukungan pada pemakaian khusus penyembah berhala sangat kurang. Sungguh, jika di sini sepertinya suatu hubungan dengan pemakaian penyembah berhala, ini akan menjadi suatu alasan yang baik bagi LXX untuk menghindari kata itu. Penggunaan yang konsisten dari Kyrios sebenarnya menyarankan kesahihan Allah, kuasa-Nya yang tak terbatas dan tak dapat dilihat, yang dapat melebihi segala sesuatu. Tetapi bahkan apabila kita tidak secara benar memahami alasan mengapa LXX memilih terjemahan Kyrios, sekali pun itu benar, bahwa adonay itu adalah istilah yang mendasari Kyrios, arti yang sebenarnya dari terjemahan yang konsisten ini tetap. Sebuah kata Kyrios, kata yang menerangkan tanpa penambahan suatu nama ilahi (seperti yang belakangan dipergunakan dalam etnik, dan terhitung sejak dari zaman dahulu kala di Mesir dan Babel), jadi istilah itu sendiri sudah cukup memadai untuk menyebut nama Allah, Allah yang satu –satunya. Ini harus diusulkan secara terus menerus kepada pendengar-pendengar Allah yang tak terbatas dan yang mengontrol segala sesuatu. “Pada sebuah kasus (pemakaian etnik) sebutan itu ditambahkan kepada nama, dan nama membedakan yang menyandangnya dari banyak dewa dan orang yang berharap menyandang atau mungkin telah menyandang, sebutan ……. Di dalam kasus yang lain (LXX) sebutan itu menggantikan nama, dan implikasi yang menyandang itu, yang adalah ‘yang berkuasa’ di dalam pengertian yang absolut. Tidak ada paralel yang tepat untuk ini di dalam bahasa Yunani zaman ini atau yang sebelumnya."
Kalau di dalam LXX dan literatur yang lain dari orang Yahudi terdahulu, Kyrios digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani ‘Adon’ itu merupakan sesuatu yang diterjemahkan dan bukan suatu ungkapan yang tidak langsung. Sekitar 190 kali di dalam LXX Adon itu diterjemahkan Kyrios dan mengacu pada orang-orang yang adalah raja - raja atau pemimpin - pemimpin dalam beberapa pengertian. Sebenarnya ada juga beberapa bukti bahwa Adonay sedang digunakan sebagai pengganti untuk YHWH dalam beberapa hal di dalam naskah – naskah Ibrani mereka di Qumran. Dengan kata lain ada minat pemakaian Adonay di dalam doa - doa permohonan di Qumran (1QM 12:8, 18; 1Q 34). Penggunaan bahasa Aram untuk ‘mare’ atau ‘mara’, mengacu pada Allah sebagai Tuhan dapat ditelusuri kembali di dalam kitab Daniel 2:47 dan 5:23, meskipun di dalam teks-teks ini, istilah itu belum waktunya untuk digunakan sebagai suatu sebutan dalam satu pengertian yang absolut.
Dengan demikian pemakaian Kyrios dalam Yudaisme tidak merujuk kepada para dewa ataupun dewi melainkan merujuk kepada Allah dan juga kepada raja – raja ataupun pemimpin – pemimpin. Dan oleh karena nama pribadi Allah yaitu YHWH dipadankan dengan Kyrios, maka Kyrioss itu tidak menjadi nama pribadi Allah, karena Kyrios yang menjadi padanan YHWH, dapat diterapkan kepada Allah maupun kepada manusia yang mempunyai derajat tinggi dan kuasa.
II.2. Penggunaan Kyrios dalam Zaman Perjanjian Baru
Pada zaman Perjanjian Baru, istilah Kyrios masih dipergunakan. D.W. Hall & P.A. Lillback mengatakan bahwa: ketika kita sampai kepada zaman Perjanjian Baru, kita menjumpai bahwa penulis – penulis kitab yang diberi inspirasi sangat dipengaruhi oleh terjemahan Septuaginta di dalam mereka menggunakan kata – kata Yunani untuk mengekspresikan penyataan Injil. Secara khusus, para rasul (dan “orang – orang dalam lingkungan para rasul” yang bergabung dalam penulisan kitab suci PB) mengenakan kata untuk Allah Yang Maha kuasa yang Eksis Sendiri (atau “Tuan yang berkuasa”) ini kepada Yesus Kristus.
II.2.1). Penggunaan Kyrios dalam Perjanjian Baru
Penggunaan Kyrios dalam Perjanjian Baru mengalami perkembangan karena selain digunakan untuk merujuk kepada manusia, dan Allah sebagaimana di dalam Septuaginta, juga digunakan untuk merujuk kepada Yesus.
II.2.1.a). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Manusia
Kyrie adalah suatu sapaan yang lazim karena rasa hormat yang selalu digunakan di dalam Injil bilamana seorang budak berbicara kepada seorang tuan. Namun, itu bisa juga ditemukan pada ucapan dari mulut orang – orang Yahudi kepada Pilatus (Mat. 27:63; lihat Pontius Pilatus), dari pembicaraan para pekerja kepada pemilik dari suatu kebun anggur (Luk. 13:8) dari seorang putera kepada ayahnya ketika ia bekerja untuk dia (Mat. 21:30), dari Maria kepada tukang kebun (Yoh. 20:15) dan, akhirnya dari bibir seorang perempuan Siro-Fenisia kepada Yesus (Mark. 7:28; Mat. 15:27). Kyrios dapat digunakan untuk mengacu kepada raja atau pemilik dari beberapa harta atau perkebunan, seperti pemilik dari suatu kebun anggur (Mark. 12:9 dan paralelnya). Istilah itu dapat juga digunakan baik untuk tuan yang (bebas) mengatur (Luk.16:3) atau dari seorang pemilik dari para budak (Mat. 18:25; 24:45; Luk. 12:37, 42; 1:23). Tetapi kita tidak menemukan Injil menggunkan Kyrios baik untuk kaisar atau untuk setiap dewa- dewa kafir. Penggunaan Kyrios yang merujuk kepada manusia selain ditemukan di dalam kitab Injil, juga ditemukan di dalam kitab – kitab yang lain, yaitu: Kisah para Rasul 16:16, 19; Efesus 6:5; Kolose 3:22; 4:1.
Dalam kaitan dengan penggunaan Kyrios yang merujuk kepada manusia, secara jelas Andreas Lauw mengelompokkannya sebagai berikut: Dalam hubungan tuan – budak (Mat.10:24, dst. 18:25, 27; 25:19; Luk. 12:36, dst. Ef. 6:5, 9; Kol.3:22), dalam arti pemilik (Mark. 12:9; Luk.19:33; Gal. 4:1), dalam hubungan derajat – tinggi – rendah – kedudukan sekaligus menyatakan kesopanan (Mat. 18:21, Yoh. 12:21; 20:15; Kis. 16:30. dll).
Dari fakta – fakta yang dikemukakan di atas, maka menjadi jelas bahwa, penggunaan Kyrios yang merujuk kepada manusia mengandung pengertian rasa hormat, kepemilikan atas orang ataupun benda, dan kekuasaan.
II.2.1.b). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Allah
Penulis – penulis Perjanjian Baru mengikuti cara LXX dalam menulis nama Allah. Sebagaimana LXX tidak mencantumkan tetragram (YHWH) dan menggantikannya dengan Kyrios atau Theos, penulis – penulis Perjanjian Baru melanjutkan tradisi ini. Allah dengan nama YHWH tidak mendapat perhatian dari gereja mula – mula, praktisnya mulai abad ke – 2 nama itu telah ditinggalkan. Allah terutama disebut Kyrios di dalam Perjanjian Baru menurut kutipan – kutipan atau kiasan – kiasan Perjanjian Lama, yang biasanya mengikuti LXX, yaitu Markus 1:3 dan paralelnya; Markus 12:11 dan paralelnya; Markus 12:36 dan paralelnya. Dan Kisah Para Rasul 2:34 (disini LXX mempunyai ho kyrios, tetapi di dalam kutipan pendek teks Perjanjian Baru, dihilangkan oleh B dengan beberapa dukungan dari para saksi lainnya); Matius 27:10; Lukas 1:46; 4:18,19; Markus 11:9 dan paralelnya; Yohanes 12:23 (dua kali); Kisah Para Rasul 2:20,21,25; 4:26; 13:10. Penggunaan Kyrios yang merujuk kepada Allah dalam Perjanjian Baru tidak hanya berdasarkan pada kutipan – kutipan dari LXX seperti yang disebutkan di atas, karena tidak semua isi Perjanjian Baru adalah kutipan dari Perjanjian lama. Dan ketika Chris Maruntika melihat secara menyeluruh penggunaan Kyrios yang merujuk kepada Allah dalam Perjanjian Baru, ia mengatakan bahwa: Allah dipanggil Tuhan (Kyrios) tidak kurang dari 150 kali dalam Perjanjian Baru. Di kala Yesus lahir, dikatakan bahwa kemuliaan Tuhan bersinar meliputi gembala – gembala (Luk. 2:9). Waktu Ia mengajar Ia membaca dari buku Yesaya yang mengatakan bahwa “Roh Tuhan ada pada-Ku.” Yang dimaksud dengan Tuhan dalam kedua ayat tersebut ialah Allah Bapa.
Dengan demikian penggunaan Kyrios yang merujuk kepada Allah dalam Perjanjian Baru mengandung pengertian yang sama seperti Allah dalam Perjanjian Lama yaitu Allah yang omni poten (berkuasa di mana – mana), omnisiens (serba mengetahui), dan benar – benar pencipta yang baik atas segala sesuatu yang ada.
II.2.1.c). Penggunaan Kyrios merujuk kepada Yesus
Sejarah pengakuan Yesus sebagai Tuhan di dalam Kekristenan yang paling awal sebagian besar berputar pada rentetan pertanyaan, apa arti penggunaan sebutan ini kepada Yesus? Apa peran atau status yang membuat pengakuan ini dihubungkan dengan Yesus atau diakui sebagai kepunyaan Yesus? Jawaban – jawaban dari Kekristenan yang paling awal bermacam - macam dan kita tidak bisa selalu pastikan jika kita sedang mendengarnya. Masalahnya adalah bahwa 'tuan' dapat menunjukkan cakupan utuh untuk martabat - dari suatu tutur sapa yang hormat seperti seorang guru atau hakim dengan suatu gelar yang penuh bagi Allah.
Laporan keempat Injil yang menggunakan Kyrios untuk Yesus dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: sebelum kebangkitan Yesus dan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya. Mengapa ini dibagi? Karena ada suatu perubahan yang jelas untuk apa kata itu digunakan. Secara umum, pada periode kehidupan Yesus dan sebelum kebangkitan, kata Kyrios di dalam Injil-Injil tidak mempunyai arti tambahan yang menyiratkan keilahian-Nya. Itu hanyalah suatu salam umum karena rasa hormat yang mendalam. Meskipun, ada contoh-contoh di dalam Injil untuk kata Tuhan (ho Kyrios) sebagai suatu sebutan khusus untuk Yesus, tetapi kelihatannya itu tidak selalu membawa arti yang religius. Untuk memecahkan ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa setiap penggunaan Kyrios untuk Yesus sebelum kebangkitan hanya suatu bentuk hormat untuk menyapa seorang guru atau rabbi, atau sebaliknya kita tidak bisa katakan bahwa itu satu satunya petunjuk yang menyatakan keilahian.
Hal tersebut diperjelas oleh pernyataan Chris Maruntika bahwa istilah Kyrios yang dikenakan kepada Yesus Kristus ternyata melibatkan arti umum dan arti khusus. Ia dikasihi, dihormati, maupun disembah sebagai Guru dan Tuhan oleh murid – murid-Nya. Panggilan Tuhan yang digunakan oleh wanita Samaria di dalam Yohanes 4:19, sesudah terjadi dialog dengan Yesus Kristus, menunjukkan penghargaan wanita itu setelah menyadari, bahwa Yesus mengetahui rahasia hidupnya. Di pihak lain, Petrus yang sesudah bergaul lama dengan Yesus Kristus dan menyaksikan mujizat – mujizat yang dilakukan-Nya mengakui dengan rasa penyembahan yang dalam, bahwa Dia adalah Tuhan. Tuhan Yang Kudus tempat bergantung satu – satunya dan yang menaruh perkataan hidup yang kekal (Yohanes 6:68 – 69). Kedua pemakaian, umum dan khusus, pada umumnya muncul sebelum kebangkitan Yesus Kristus. Sesudah kebangkitan Yesus Kristus dari kematian, pada umumnya Ia dipanggil Tuhan hanya dalam pengertian khusus, yaitu sebagai Allah yang disembah.
Dengan demikian, kata Kyrios yang merujuk kepada Yesus dalam Perjanjian Baru telah digunakan dalam dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian khusus (pengertian yang absolut). Kyrios dalam pengertian umum merupakan suatu sebutan kepada manusia berkenaan dengan rasa hormat, kepemilikan, atau kekuasaan. Dan Kyrios dalam pengertian khusus merupakan suatu sebutan kepada Allah berkenaan dengan otoritas dan sifat ilahi.
Mengenai waktu penggunaan Kyrios dalam dua pengertian yang telah disebutkan diatas, Robbyanto Notomihardjo mengatakan: “Jadi, dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam keempat Injil ada suatu tema yang konsisten di mana Kyrios sebelum kebangkitan hanyalah suatu istilah dari rasa hormat, tetapi setelah kebangkitan dan kenaikan Yesus, itu membawa suatu arti tambahan yang spesifik bahwa Yesus adalah Allah.”
Namun kesimpulan Robbyanto Notomihardjo tidak sepenuhnya benar, khususnya tentang makna Kyrios sebelum kebangkitan Yesus dari kematian-Nya. Karena sesungguhnya kata Kyrios dalam pengertian absolut sudah dikenakan pada Yesus sewaktu Dia masih di dalam kandungan Maria. Dimana Elisabet yang dipenuhi oleh Roh Kudus ketika menyambut Maria, ia mengucapkan kata Kyrios itu (lihat Injil Lukas 1:43). Akan tetapi bagian ini merupakan suatu kekecualian karena konteksnya adalah Yesus belum lahir. Sehingga Kyrios yang diucapan Elisabet tidak merupakan ungkapan langsung kepada Yesus.
Sedangkan setelah kebangkitan Yesus dari kematian-Nya, dan kenaikkan-Nya ke sorga hanya Kyrios dalam pengertian khusus yang dikenakan kepada-Nya. Dalam hal ini ada kesesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh Robbyanto Notomihardjo karena ada banyak bagian Perjanjian Baru yang menggunakan "Kyrios" dengan suatu indikasi yang spesifik yang menunjuk keilahian, seperti: Ibrani 13:20; 2:3; 7:14; 8:8; 1 Petrus 1:3; 3:15; 2 Petrus 1:11; 2:20; 3:18, Yakobus. 1;1; 2:1; Yudas 17,21; Wahyu 11:8; 17:14; 19:6. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa zaman gereja perdana, mulai dengan Pantekosta, tidak lagi menggunakan istilah Kyrios yang merujuk kepada Yesus sebagai suatu ungkapan umum, melainkan hanya menggunakannya dalam arti yang spesifik untuk keilahian. Yesus adalah Allah, yang mempunyai kuasa yang absolut dan harus dipatuhi oleh semua, baik orang Yahudi atau non-Yahudi, dulu atau sekarang.”
II.2.2). Yesus Kyrios
Kyrios yang disandang Yesus dalam bagian ini adalah Kyrios dalam pengertian yang absolut (Yesus Tuhan), yang merupakan pokok pengakuan iman orang Kristen mula – mula hingga sekarang. Dan Yesus Kyrios inilah yang dipermasalahkan: Apakah Yesus adalah Kyrios? Apakah sebutan atau gelar “Kyrios” yang disandang Yesus itu diperoleh karena manusia yang mengangkat-Nya, ataukah pada diri-Nya sendiri ketuhanan itu sudah ada? Kalau sudah ada, apakah itu ada sejak lahir-Nya (inkarnasi Yesus), dan bahkan sebelumnya (praeksistensi Yesus), ataukah ketuhanan itu baru dinyatakan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga?
Apakah Yesus adalah Kyrios? Ya, Yesus adalah Kyrios. Yesus diakui dan disapa sebagai Kyrios, oleh karena pada diri-Nya dan karya-Nya dilihat suatu segi ilahi. Baiklah diingat bahwa nama diri Allahnya Israel, yaitu YHWH, dialibahaskan oleh orang Yahudi yang berbahasa Yunani justru dengan gelar “Tuhan” (Kyrios) itu. Adapun YHWH tidak begitu saja dapat disamakan dengan Allah (Ibaninya elohim, Yunani: theos). YHWH ialah Allah yang secara khusus menghubungi umat-Nya dan oleh umat itu secara khusus diakui dan dipuja sebagai yang berkuasa atas diri mereka, sebagai “Raja” umat. YHWH ialah Allah perjanjian, yang hadir, melindungi, mendukung, tetapi juga dapat menghakimi dan menghukum umat-Nya yang tidak setia. Maka dalam rangka ini, dalam tradisi Yahudi yang berbahasa Yunani, gelar “Kyrios” mendapat ciri ilahi. Jika umat Kristen menjadi yakin bahwa kuasa penyelamatan dan penghakiman Allah menjadi nyata dan terwujud dalam Yesus, baik sekarang maupun dahulu, maka gelar Kyrios yang diberikan kepada Yesus mendapat isi yang mirip dengan isi gelar yang diberikan kepada Allah Israel, YHWH. Maka oleh jemaat Kristen keturunan Yahudi akhirnya Yesus diakui dan disapa serta dipuja sebagai Dia yang menjadi penyataan kuasa Allah penyelamat dan hakim jemaah Kristen. Malah Yesus diakui sebagai “hakim orang hidup dan mati” (Kis.10:42). Memang Allah tetap “Kyrios langit dan bumi” (Mat. 11:25), tetapi kepada Yesus yang dibangkitkan juga diberikan “kuasa atas langit dan bumi” (Mat. 28:18). Maka Yesus dalam hal kekuasaan amat dekat dengan Allah dan layak disapa sebagai Kyrios. Dan itulah sebabnya mengapa ayat yang dalam Perjanjian Lama mengenai Kyrios/YHWH, begitu saja dipindahkan kepada Kyrios/Yesus (Kis. 2:21). Bagi orang Yahudi khususnya, istilah Kyrios ini senantiasa mengusulkan bahwa Yesus Kristus senantiasa setara dengan Allah Bapa.
Adapun pengakuan tentang keilahian Yesus itu didasarkan pada berbagai pernyataan di dalam Perjanjian Baru. Dalam cerita kelahiran Yesus dapat dilihat bahwa malaikat menyebutkan “Yesus adalah Anak Allah” (Mat.1:21, Luk. 1:31,32,35). Dalam Injil Matius, Yesus menyuruh para murid-Nya untuk membaptis dalam nama “Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (28:19), ketiga nama yang disetarakan. Dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa pada waktu Logos atau Firman berinkarnasi, Yesus dinyatakan sebagai keberadaan yang pada mulanya bersama Allah dan Dia adalah Allah (Yoh 1:1-3). Di bagian lain, Perjanjian Baru memakai istilah dan sebutan untuk menunjuk pada keilahian-Nya. Allah memberikan sebutan Tuhan pada-Nya (Flp. 2:9-11). Sebagai Anak Manusia, Yesus mengklaim diri-Nya sebagai Tuhan atas hari Sabat (Mark. 2:28) dan mempunyai otoritas untuk mengampuni dosa (Mark. 2:1-12). Dia disebut Tuhan atas kemuliaan (Yak.2:1) dan bersedia menerima penyembahan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Tomas pada waktu ia mengaku: “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:28). Dari beberapa pernyataan dalam Perjanjian Baru yang sudah disebutkan itu, maka menjadi jelas bahwa Yesus disebut Kyrios karena memang Ia memiliki natur ilahi.
Bagaimana Yesus menjadi Kyrios? Yesus menjadi Kyrios karena Dia ditetapkan oleh Allah Bapa untuk memegang pemerintahan atas kita, supaya Dia menyelenggarakan Kerajaan dan keTuhanan Allah, di sorga dan di bumi, dan menjadi kepala para malaikat serta orang percaya (Ef. 5:23, Kol. 1:18). Allah yang menetapkan dan telah membuat Yesus menjadi Tuhan dan Kristus (Kis. 2:36).
Jadi, Yesus menjadi Kyrios karena Dia ditetapkan oleh Allah Bapa, bukan diangkat oleh manusia. Jawaban ini sekaligus menentang tuduhan Dan Brown dalam bukunya , The Da Vinci Code yang dikutip oleh Herlianto, bahwa Yesus bukanlah Kyrios, melainkan manusia biasa, dan baru pada zaman Kaisar Konstantin, tepatnya dalam Konsili di Nicea (tahun 325), Yesus diangkat sebagai Kyrios.
Jikalau keilahian ada pada Yesus, apakah itu ada sejak lahir-Nya (inkarnasi Yesus), dan bahkan sebelumnya (praeksistensi Yesus), ataukah keilahian itu baru dinyatakan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga? Keilahian Yesus sudah ada sejak kekal. M.J. Erickson menyimpulkan bahwa Filipi 2:5-11 memang mengajarkan bahwa Yesus sudah ada sebelumnya dalam pengertian ontologi. Bahkan untuk memperkuat kesimpulannya itu, M.J. Erickson mengutip pendapat Reignald H. Fuller, bahwa seluruh bagian Filipi 2:5-11 itu, menyajikan sebuah “pola Kristologis rangkap tiga”: Yesus, sebagai Allah, mengosongkan diri-Nya, menjadi manusia, dan kemudian dimuliakan kepada kedudukan sebagai Allah, atau setara dengan Bapa.
Akan tetapi keilahian Yesus yang sudah ada sejak kekal itu baru dinyatakan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga. Itulah sebabnya tidak mengherankan, bahwa di dalam kitab – kitab Injil kata ‘Kyrios’ dalam arti yang absolut tidak sering dikenakan kepada Yesus. Sebab Kyrios itu terutama dirangkaikan dengan Yesus yang telah ditingikan, yaitu Yesus yang telah bangkit, naik ke sorga, dan yang duduk-Nya di sebelah kanan Allah dengan mempunyai serta menjalankan segala kuasa. Setelah Petrus berbicara tentang kebangkitan Yesus serta kenaikanNya ke sorga, maka dilanjutkannya: Yesus inilah yang sudah dibuat menjadi Kyrios (Kis. 2:32-36). Justru di dalam kebangkitan Yesus dan kenaikan-Nya ke sorga itu, dinyatakan bahwa Yesus adalah Kyrios, artinya bahwa Ia ambil bagian dalam hidup kekal serta kemahakuasaan Allah.
Sehubungan dengan hal di atas, M.J. Erickson mengatakan bahwa: para penulis kitab dalam Perjanjian Baru menghubungkan istilah Kyrios (Tuhan) dengan Yesus, khususnya setelah Ia bangkit dan naik ke sorga. Sekalipun istilah ini memang dapat dipergunakan tanpa pengertian yang absolut, namun ada beberapa pertimbangan bahwa istilah ini menandakan keilahian apabila diterapkan pada Yesus.
Berkenaan dengan pengakuan Yesus Kyrios, ada sebuah pertanyaan penting yaitu: apakah pengakuan yang demikian pertama muncul dari komunitas Kristen Yahudi atau dari komunitas Kristen Helenistis?
Menurut Colin Brown, Yesus yang diagungkan sebagai Kyrios dalam penyembahan, Kyrios Iesous, Yesus Kyrios, tidak diragukan lagi kalua dimulai sebelum komunitas Kristen Helenistis yang dirintis oleh Paulus. Pengakuan ini adalah salah satu pengakuan iman Kristiani yang paling tua. Dengan pengakuan ini komunitas Perjanjian Baru menyerahkan diri sendiri kepada Tuhannya, tetapi pada waktu yang sama itu juga mengaku Dia sebagai penguasa dunia (Rm. 10:9a; 1Kor. 12:3; Flp. 2:11; bandingkan dengan sebutan kosmokrator di Ef. 6:12 yang digunakan untuk “para penguasa kegelapan di dunia ini”). Allah telah membangkitkan Yesus dari kematian dan meninggikan Dia pada posisi Kyrios alam semesta. Lebih dari itu, Allah telah “menganugerahkan kepada Dia nama di atas segala nama” (Flp.2:9; Yes. 45:23), yaitu nama Tuhan sendiri dan dengan itu, posisi sesuai dengan nama. Dalam Filipi. 2:5-11, Kyrios ditinggikan, Yesus, menguasai umat manusia (Rm.14:9). Semua kuasa – kuasa dan makhluk di dalam alam semesta harus bertekuk lutut di hadapan-Nya. Bilamana itu terjadi, Allah Bapa akan disembah (Ef. 1:20; 1Ptr. 3:22). Ini lebih lanjut menyiratkan pada fakta bahwa Yesus disebut penguasa di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja (Wyh. 1:5; 17:14; 19:15). Dengan cara ini Yesus Kristus menerima sebutan sebutan penghormatan yang sama seperti Allah sendiri (1Tim. 6:15; Dan. 2:47).
Menurut J.B. Green, S. Mcnight, dan I.H. Marshall, pengakuan Yesus Kyrios muncul sebagai hasil pengalaman – pengalaman awal dari murid – murid Kristus yang telah dibangkitkan. Dalam hubungan dengan ini, Paulus menyatakan bahwa pengakuan seperti itu tidak bisa muncul sampai Yesus telah bangkit dan Roh Kudus telah dicurahkan kepada para pengikut Yesus, karena menurut Paulus, “tidak seorangpun yang dapat mengaku ‘Yesus Kyrios’ selain oleh Roh Kudus” (1Kor. 12:3).
Dari jawaban - jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa pengakuan bahwa Yesus Kyrios pertama muncul dari komunitas Kristen Yahudi yaitu para Rasul yang tinggal di Yerusalem dan telah menerima Roh Kudus. Maka tidaklah tepat kalau dikatakan bahwa pengakuan Yesus Kyrios pertama muncul dari komunitas Kristen Helenistis seperti yang dikemukakan oleh Wilhelm Bousset, seorang penafsir terkemuka dari sekolah Sejarah Agama, yang berargumentasi bahwa penggunaan sebutan Kyrios kepada Yesus dimulai oleh gereja non Yahudi, yang memakainya dari dunia yang dilingkupi agama – agama sinkritisme.
Pengakuan Yesus Kyrios mengandung pengertian bahwa Dia yang mempunyai serta menjalankan kuasa-pemerintahan; Dia yang berkuasa atas hidup dan mati kita; Dia yang berkuasa penuh atas perbuatan, perkataan, dan pikiran kita; Dia yang berkuasa penuh atas bumi dan alam semesta, atas semua manusia, atas para malaikat dan kuasa – kuasa yang jahat, atas sorga dan neraka.
III. Kesimpulan
Kyrios merupakan istilah Yunani yang dikenakan pada Yesus sejak zaman Perjanjian Baru. Namun, istilah Kyrios ini sudah digunakan jauh sebelum zaman Perjanjian Baru. Dan setelah diselidiki penggunaannya dalam beberapa zaman sebelum zaman Perjanjian Baru hingga zaman Perjanjian Baru, maka didapati bahwa ada perkembangan makna. Makna Kyrios dalam Perjanjian Baru tidak sama persis dengan makna Kyrios yang digunakan pada zaman dahulu. Karena makna Kyrios tergantung pada pribadi yang dikenakan. Jika Kyrios dikenakan kepada manusia, maka itu mengandung pengertian rasa hormat, kepemilikan atas orang, ataupun benda, dan kekuasaan; jika Kyrios dikenakan kepada dewa ataupun dewi, maka itu mengandung pengertian memiliki kuasa tertentu; jika dikenakan kepada Allah, maka itu mengandung pengertian yang ilahi yaitu Yang Maha Kuasa; dan jika dikenakan pada Yesus, maka itu mengandung dua pengertian, yaitu: pengertian umum (rasa hormat, kepemilikan, dan kekuasaan = manusia) dan pengertian khusus (yang ilahi = Allah).
Yesus adalah Kyrios dalam pengertian yang ilahi karena pada diri-Nya sudah ada keilahian sejak kekal, namun keilahian-Nya itu baru dinyatakan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga. Dengan demikian, maka Yesus bukanlah manusia yang dijadikan Kyrios, tetapi Kyrios yang menjadi manusia.
Pengakuan bahwa Yesus Kyrios berhubungan erat dengan pengakuan akan Dia sebagai Pencipta dari alam semesta ini ( 1Kor 8:6; Kol 1:16). Dan ini berarti bahwa Ia mempunyai semua kuasa dan bahwa akhirnya semua akan mengakui Dia. Karena nama-Nya di atas segala nama, dan semua lutut akan segera bertekuk pada Dia dan semua lidah akan mengaku bahwa Yesus adalah Kyrios.
“SOLI DEO GLORIA”
Daftar Pustaka
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika–Doktrin Kristus, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia,1998
Boland, B.J., Niftrik, van G.C. Dogmatika Masa Kin,i Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007
Brown, Colin. Diktionary of New Testament Theology Volume 2, Grand Rapids: Zondervan, 1986
Dainton, M. B., Collins, V. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008
Dunn, James D. G. Unity and Diversity in the New Testament, London: SCM Press. 2006
Erickson, Millard. Teologi Kristen Volume dua, Malang: Gandum Mas, 2003
Hauw, Andreas. Jurnal Veritas Volume 6/1 April, Malang: SAAT, 2005
Herlianto. Yesus Digugat Bandung: Mitra Pustaka, 2006
-------------Menggugat Yesus, Bandung: Kalam Hidup, 2008
Kittel, Gerhard. Teological Dictionary the New Testament Volume III, Michican: WM.B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, 1965
Lillback, P.A. & Hall, D.W. Penuntun ke dalam Theologi Institutes Calvin, Surabaya: Momentum, 2009
Marshall, I.H., Mcnight, S., Green, J.B. Dictionary of Jesus and The Gospels, Downers Groves: Intervarsity Press, 1992
Maruntika, Chris. Yesus Kristus Allah, Manusia Sejati, Surabaya : Pasti & Yakin, 1983
Morris,Leon. Teologi Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1996
Notomihardjo, Robbyanto. STULOS – Thelogical Journal 4/1 May, Bandung: STTB, 1996
ofm Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi, Yogyakarta: Kanisius, 1988
Sproul,R.C. Kebenaran – Kebenaran Dasar Iman Kristen, Malang: Literatur SAAT, 2008
Rabu, 12 Mei 2010
Eskatologi Jurgen Moltman
ESKATOLOGI JURGEN MOLTMANN
A. PENDAHULUAN
Eskatologi adalah salah satu topik yang penting dalam teologi Kristen. Topik eskatologi ini adalah topik yang sangat rentan terhadap pengajaran yang tidak sehat karena berkaitan dengan hal-hal yang bersifat nubuatan. Walaupun topik ini rentan terhadap pengajaran yang tidak sehat, namun masih ada banyak teolog Kristen yang berusaha untuk merumuskannya berdasarkan pemahaman masing-masing, dan sesuai dengan metode penafsiran mereka terhadap Alkitab. Topik eskatologi yang dibahas dalam makalah ini adalah: Apakah pandangan Motlmann tentang eskatologi dan bagaimana tanggapan kelompok terhadap pandangan Moltmann itu? Namun sebelumnya kami memberikan beberapa informasi tentang hidup, karya, tokoh-tokoh yang mempengaruhinya dan metode pendekatannya. Hal ini penting karena lazimnya teologi seseorang berakar di dalam biografinya.
1. Biografi
Jurgen Moltmann dilahirkan di Hamburg Jerman pada tanggal 8 April 1926 dan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat sekuler. Pada umur 16 tahun Moltmann mengidolakan Albert Einstein dan berharap untuk belajar matematika di Universitas. Teologi belum memainkan apapun dalam hidupnya. Moltmann menempuh ujian masuk untuk melanjutkan pendidikannya, namun sebaliknya ia pergi berperang sebagai seorang tenaga pembantu dalam angkatan udara Jerman. Bahan-bahan Bacaan yang dibawanya ke dalam penderitaan perang adalah Puisi-puisi karya Goethe dan karya-karta Nietzsche. Pada tahun 1944 ia sungguh-sungguh terkena wajib militer dan menjadi tentara di militer Jerman. Pada tahun 1945 ia menyerah kepada tentara Inggris dan dari tahun 1945 sampai 1948 ia ditawan sebagai tawanan perang dan dipindahkan dari satu kamp ke kamp yang lainnya. Ia mula-mula ia ditawan di Belgia. Di kamp di Belgia, para tawanan tidak mempunyai banyak kegiatan akibatnya pikiran-pikiran mereka mulai tersiksa. Moltman dan rekan-rekan setahanan merasa tersiksa oleh kenangan dan pikiran-pikiran yang menghawatirkan. Moltmann mengaku telah kehilangan semua pengharapan dan kepercayaan terhadap budaya Jerman karena kamp-kamp konsentrasi tempat orang Yahudi dan yang lain-lainnya yang ditahan oleh Nazi telah dibunuh. Moltmann mengaku bahwa ia menyesal sehingga ia sering merasa bahwa lebih baik ia mati bersama-sama dengan rekan-rekannya dari pada tetap hidup untuk menghadapi apa yang telah dilakukan bangsanya. Moltmann bertemu dengan sekelompok orang Kristen di kamp itu dan seorang pendeta tentara Amerika memberikan kepadanya sebuah Kitab Perjanjian Baru dan Mazmur. Perlahan-lahan ia mulai mengidentifikasi dan mulai mengandalkan iman Kristen. Pada akhirnya Moltmann mengaku “saya tidak menemukan Kristus, Dialah yang menemukan saya.” Setelah penahanan di Belgia, ia dipindahkan di sebuah kamp di skotlandia dan di sana ia bekerja dengan orang-orang Jerman lainnya untuk membangun kembali daerah-daerah yang rusak karena pengeboman. Keramahtamahan penduduk setempat terhadap para tawanan menimbulkan kesan yang mendalam pada dirinya. Pada Juli 1946, ia dipindahkan untuk terakhir kalinya ke sebuah penjara Inggris yang terletak dekat dengan Nottingham yaitu kamp Northern. Kamp itu dioperasikan oleh YMCA (Youth Mission Christian Assuciation), dan di sana Moltmann bertemu banyak mahasiswa teologi. Di kamp Northern ia menemukan buku Reinhold Niebuhr, Nature and Destiny of Man I, itu adalah buku teologi pertama yang pernah dibacanya dan Moltmann mengaku bahwa buku itu menimbulkan dampak yang hebat dalam hidupnya. Pada tahun 1948 Moltmann kembali ke rumahnya dan menemukan kotanya Hamburg dan seluruh negerinya dalam keadaan hancur karena pengeboman tentara sekutu semasa perang dunia ke II. Moltmann menempuh pendidikan teologinya di Universitas Goettingen, sebuah lembaga yang para profesornya merupakan pengikut-pengikut Karl Barth.
2. Karya-karya Moltmann
Kita tidak dapat mengetahui semua karya yang pernah dihasilkan oleh Jurgen Moltmann selama masa hidupnya. Menurut Bauckham , Moltmann menghasilkan cukup banyak karya dalam bidang teologi, akan tetapi karya yang terkenal dan turut memberikan sumbangsih dalam dunia teologi secara luas terdiri atas tiga karya yaitu: Theology of Hope (1964), Karya ini sangat dipengaruhi oleh orientasi eskatologis dari karya filsuf Ernst Bloch (The Principal of Hope); The Crucified God (1972) yang menegaskan bahwa Allah mati pada kayu salib, sehingga membangkitkan pertanyaan tentang impasibilitas Allah. ; The Church in the Power of the Spirit (1975) menjelaskan tentang implikasi-implikasi dan eksplorasi bagi gereja di dalam kehidupannya dan dunia.
3. Teolog-Teolog yang mempengaruhi Moltmann
Pemikiran-pemikiran dari Jurgen Moltmann tidak jatuh dari langit, tetapi ia sangat dipengaruhi oleh beberapa tokoh terkenal yakni: Karl Barth dengan dialektika teologinya dan Ernst Bloch dengan filsafat Marxismenya. Douglas Meeks sudah secara tepat sekali melacak asal-usul teologi pengharapan dari Moltmann dalam pengaruh dari guru-gurunya yaitu Otto Webber, ernst Wolf; Hans Joachim Iwand; Gerhard von Rad, dan Ernst Kasemann. Dengan merekalah Moltmann belajar teologi di Gottingen tahun 1948. Moltmann pasti belajar banyak juga dari Karl Barth, yang dengan Kristosentrisnya yang tidak mengenal kompromi sudah melengkapi gereja selama perang dunia II dan sekarang berbicara kepada orang-orang yang mengalami suasana peperangan seperti Moltmann yang datang ke perkuliahan langsung dari perjara perang.
4. Metode pendekatan dan Hermeneutik Moltmann
Metode berteologi yang dipakai oleh Moltmann adalah: teologi yang menyeluruh dibahas dari dalam satu titik perhatian. Dalam teologi pengharapan, pengharapan yang tadinya merupakan objek teologi, sekarang menjadi subjek teologi. Berpikir teologis dari segi pengharapan berarti melihat seluruh teologi dalam terang masa depan Allah.
Eksplorasi adalah salah satu metode Moltmann dalam melakukan teologi. Moltmann mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan teologi dalam bentuk pembelaan doktrin-doktrin atau dogma-dogma gerejawi kuno. Selain itu, ia menekankan dialog, karena itu, pendekatan teologisnya tentang kebenaran Allah adalah dialogis. Moltmann berpendapat bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam dialog bukan dalam sistem teologis dan ketegasan dogmatika. Selain itu, Moltmann berpendapat bahwa teologi Kristen harus dikembangkan dalam persekutuan oikumenis, tetapi persekutuan ini harus melampaui kelompok keagamaan kita sendiri, batas-batas budaya dan politik. Oleh karena itu, Moltmann telah terlibat dalam dialog ekumenis dengan Katolik, Kristen Ortodoks dan Yahudi.
Bagi Moltmann, prinsip hermeneutik adalah eskatologi, dan pengharapan merupakan tema utama dari Alkitab. Namun Moltmann memahami gereja sebagai yang membentuk masa depan dan memberikan pengharapan melalui interaksi sosial, khususnya untuk orang miskin dalam masyarakat.
B. ESKATOLOGI MENURUT MOLTMANN
Moltmann mengkritik teologi ortodoks yang menekankan eskatologi sebagai suatu kepercayaan tentang peritiwa-peristiwa tertentu pada akhir zaman. Sebaliknya Moltmann melihat eskatologi sebagai suatu faktor yang membentuk semua teologi Kristen. Karena itu Moltmann keberatan jika eskatologi dijadikan pelengkap dari teologi Kristen dan ditempatkan di akhir dari semua bidang teologi. Menurut Moltmann, eskatologi adalah ajaran atau doktrin tentang pengharapan Kristen. Pengharapan Kristen itu bukan saja pengharapan tentang hal-hal yang akan datang, tetapi juga realitas masa kini oleh karena harapan tersebut merevolusi dan mentransformasi masa kini. Hal ini ditegaskan Moltmann dalam karyanya yang pertama yaitu “Theology of Hope” bahwa,
“In actual fact, however, eschatology means the doctrine of the Christian hope, which embraces both the object hoped for and also the hope inspired by it. From first to last, and not merely in the epilogue, Christianity is eschatology, is hope, forward looking and forward moving, and therefore also revolutionizing and transforming the present. The eschatological is not one element of Christianity, but it is the medium of Christian faith as such, the key in which everything in it is set, the glow that suffuses everything here in the dawn of an expected new day”.
Teologi pengharapan Moltmann adalah eskatologi yang berpusat dan berfokus pada harapan-harapan yang dibawa oleh kebangkitan Kristus. Melalui iman kita terikat kepada Kristus, dan dengan demikian kita memiliki harapan pada Kristus yang bangkit, dan pengetahuan akan kedatangan-Nya kembali. Bagi Moltmann, harapan iman Kristen adalah harapan dalam kebangkitan Kristus yang disalibkan.
Moltmann memahami iman Kristen sebagai harapan yang utama tentang masa depan manusia dan dunia yang dijanjikan oleh Allah dalam kebangkitan Yesus yang disalibkan. Jadi bagi dia eskatologi mengungkapkan sikap pengharapan yang mendasari semua iman. Bagaimanapun, eskatologi Kristen tidak berarti masa depan yang demikian yaitu masa depan yang diharapkan saja, tetapi eskatologi Kristen adalah eskatologi yang ditetapkan dari sebuah realitas dalam sejarah yang riil dan yang berkuasa atas masa depan.
Moltmann menyajikan eskatologi Kristen sebagai sebuah doktrin pengharapan yang aktif agar dapat memberi harapan untuk alternatif masa depan bagi yang tertindas dan menderita pada masa sekarang ini. Itulah sebabnya, seorang teolog tidak hanya peduli untuk menyediakan suatu interpretasi yang berbeda dalam dunia, sejarah dan kehidupan manusia, tetapi untuk mengubah mereka dalam pengharapan akan transformasi ilahi". Oleh karena itu, sejarah adalah realitas yang dilembagakan oleh janji Allah dalam kehadiran Allah dan dialami oleh manusia sebagai pergerakkan janji masa depan dalam suatu antisipasi. Dalam pengertian ini, eskatologi Moltmann dalam Teologi Pengharapan ini berbeda dari teologi eskatologis tradisional tentang “'akhir zaman”.
Moltmann menyatakan bahwa, harapan berpangkal dari iman akan Yesus Kristus yang menderita, dan bangkit sebagai wujud solidaritas Allah, atau keterlibatan Allah dalam sejarah dan dalam manusia yang mengalami penderitaan. Allah pun tersalib di dalam manusia yang menderita. Yesus menjadi wujud konkret solidaritas Allah ini atas dasar cinta kasih-Nya. Yesus adalah kepenuhan sekaligus pintu gerbang dari ‘janji’ keselamatan Allah bagi manusia dalam ‘kasih’. Keterlibatan ini tampak dalam dinamika sejarah yang terus menerus diperjuangkan oleh manusia dalam rangka antisipasi terhadap janji Allah ini.
Dengan demikian, eskatologi berarti hidup kekal sebagai janji Allah yang telah dimulai dan senantiasa berjalan dalam dinamika relasional antara Allah dan manusia (Perichoresis). Iman akan eskatologi tidak lagi dipahami hanya janji Allah pasca kematian namun riil dan sungguh hadir dalam keterlibatan manusia untuk mempertanggungjawabkan hidupnya yang bermakna. Makna ini didorong oleh kasih yang di dalamnya hidup kekal itu benar-benar ada. Eskatologi Kristiani harus memberi perhatian pada sejarah dan pada keterlibatan Allah dalam sejarah.
Mengenai kebangkitan Kristus, Moltmann mengatakan bahwa, “Di dalam kebangkitan Kristus, Allah menjanjikan “suatu dunia baru yang mencakup segala sesuatu yang hidup. "Di mana yang baru dimulai, yang lama menjadi jelas. Di mana yang baru dijanjikan, yang lama menjadi sementara dan dapat dilampaui. . .. Jadi, kebangkitan Kristus yang historis dipandang dari sudut akhirnya." Demikian juga kematian dan dosa sudah menjadi "sementara" di dalam janji Allah tentang kebangkitan orang mati pada masa yang akan datang
KESIMPULAN
Teologi Moltmann dapat dirangkum sebagai berikut: Allah adalah bagian dari proses waktu dan bergerak ke arah masa depan. Karena itu Allah tidak Absolut, tetapi Ia sedang berjalan ke arah masa yang akan datang, dimana janji-janji-Nya akan digenapi. Masa depan merupakan natur esensi dari Allah. Kebangkitan Yesus Kristus sebagai peristiwa sejarah adalah tidak penting. Kepentingan dari kebangkitan Kristus adalah eskatologikal dan harus dipandang dari masa depan, karena hal itu memberikan suatu pengharapan bagi kebangkitan umum di masa depan. Jangan melihat dari masa depan dari kuburan yang kosong. Moltmann mengusulkan untuk melihat ke masa depan yang disahkan oleh kebangkitan Kristus. Manusia juga harus dilihat dari sudut pandang masa depan, “manusia dapat dipahami, hanya dalam kaitan dengan referensi pada suatu sejarah yang tidak damai, dan terus menerus menguak sejarah dalam relasi dengan masa depan Allah.”
Solusi bagi manusia adalah mengasosiasikan dirinya dengan Allah “yang menyingkapkan diri-Nya, pada saat manusiaa direndahkan dan dilecehkan.” Moltmann menyebut hal itu sebagai teologi salib. Manusia berbagi dalam teologi salib ini dengan menerima tantangan hidup sebagai saat masa depan yang masuk ke masa sekarang.
Manusia harus secara aktif berperan serta dalam masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan. Gereja-gereja suku, kelas sosial, status dan nasional’ harus dihapuskan. Gereja memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan dan harus dapat membawa berita yang mengubah masyarakat. Gereja harus melihat lebih jauh dari keselamatan pribadi dan menantang semua penghalang dan struktur di antara orang-orang yang berbeda. Gereja merupakan alat untuk Allah membawa perubahan dan rekonsiliasi antara yang kaya dan yang miskin, antara suku-suku dan struktur-struktur yang palsu. Revolusi dapat menjadi salah satu cara yang dipakai gereja untuk mengakibatkan perubahan.
Moltmann berdasarkan penekanannya pada masa depan, menyangkali sejarah yang umum dan normal. Ia menolak signifikansi dan kehistorisan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam usaha menyejajarkan sejarah dan eskatologi, ia meyangkali arti sebenarnya dari sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam konsepnya tentang Allah, Moltmann menyangkali ketidakberubahan Allah (Mal. 3:6) dan mengusulkan Allah yang tidak absolut, “tetapi yang sedang begerak ke masa depan.”
Dalam konsepnya tentang perubahan yang berhasil dalam masyarakat, pengaruh Moltmann dari Marxisme dan “Marxisme Kristen” dari Ernst Bloch sangat terlihat. Tidak diragukan bahwa banyak dari teologi pembebasan berakar pada teologi Moltmann yang menekankan revolusi dan perubahan sosial. Perubahan itu tidak dicapai melalui keselamatan individual, melainkan melalui tindakan mengkonfrontasi ketidakadilan dalam masyarakat.
Pengharapan Moltmann bagi masa depan juga terkait dengan optimistik humanisme filsafat Hegel, dimana ia melihat masa lalu (tesis) sebagai suasana kacau balau, masa depan (antitesis) sebagai pengharapan, keharusan usaha di masa sekarang (sintesis) untuk menghasilkan perubahan. Ringkasnya, Moltmann lebih berhutang pada Karl Marx untuk teologinya, dibandingkan dengan pengajaran Kitab Suci.
TANGGAPAN
Para teolog Kristen semakin kuatir terhadap keadaan dimana orang semakin menaruh pengharapan mereka pada prinsip-prinsip sekular dan humanistik yang murni. Cara meresponi hal ini, para teolog jaman itu mulai membangkitkan lagi spirit yang anti-intelektual, kembali ke mistikisme, dan memusatkan diri pada sifat Allah yang hanya transendent. Di satu pihak Teologia Pengharapan membangkitkan lagi pengharapan masa yang akan datang yang telah runtuh akibat perang dan ideologi atheisme, tapi di pihak lain telah meruntuhkan berita utama dan prinsip-prinsip Alkitab. Secara umum pengajaran teologi pengharapan dapat dikenali dari beberap hal sperti berikut:
1. Teologi Pengharapan mendefinisikan ulang konsep eskatologi orthodoks, bahwa eskatologi menurut mereka adalah keterbukaan pada masa yang akan datang. Tidak ada waktu yang membatasi datangnya masa yang akan datang itu, manusia tidak tahu bahkan Allahpun tidak mengetahuinya. Pemikiran Moltmann ini sangat bertentangan dengan penyataan Akitab tentang kemahatahuan Allah (1 Sam. 2:3; Ayb. 37:16)
2. Teologia pengharapan disebut sebagai "Teologia Futuristik", karena menurut Moltmann yang paling penting adalah pengharapan untuk masa yang akan datang. Hal-hal yang diperjuangkan sekarang adalah untuk masa dan pengharapan yang akan datang dalam dunia ini. Dalam pengertian tertentu pemikiran Moltmann dapat diterima, karena kita harus memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Akan tetapi masa depan yang dimaksud oleh Moltmann adalah masa depan dalam dunia ini, sedangkan dalam membicarakan eskatologi, Alkitab lebih menunjuk kepada masa depan di dunia yang baru. Selain itu, bagi orang-orang pilihan bukan hanya masa depan saja yang penting tetapi masa sekarang juga penting karena orang-orang pilihan sudah hidup di dalam kerajaan Allah yang sudah ditegakkan melalui hidup dan karya Kristus (Mat. 12:28; 21:43; Luk 17:21).
3. Imanensi Allah ditiadakan, karena Allah menurut teologi pengharapan sebenarnya hadir hanya dalam janji-janji-Nya saja, yaitu janji-janji tentang masa yang akan datang. Janji-janji pengharapan yang akan datang inilah yang menjadi sifat hakiki dari Allah. Allah akan menjadi Allah jika Ia memenuhi janji-janji- Nya itu. Oleh karena itu Allah ditentukan oleh masa yang akan datang ini. Kami tidak setuju dengan pernyataan ini karena Allah adalah transenden dan Imanen. Mengabaikan salah satu dari kedua aspek ini, maka sedang menyangkal Allah yang menyatakan diri dan dikenal melalui Alkitab.
4. Allah tidak mempunyai otoritas yang mutlak, karena Allah sendiri ditentukan oleh masa depan. Oleh karena itu tidak ada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah untuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah kebebasan yang memiliki sifat relatif. Itu sebabnya Allah tidak dapat ditempatkan di luar waktu, eksistensi Allah dan masa depan Allah ditentukan oleh waktu. Bagi kami, Allah adalah pribadi yang berotoritas atas segala sesuatu. Ia menetapkan segala sesuatu menurut kerelaan kehendak-Nya (Ef. 1:11)
5. Memusatkan berita eskatologi pada manusia bukan pada Kristus dan kedatangan-Nya yang kedua kali yang penuh kemuliaan. Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan kunci eskatologi karena itu merupakan jaminan Allah akan kebangkitan-Nya yang akan datang. Namun kematian dan kebangkitan Kristus tidak mempunyai relevansi bagi kehidupan kita masa kini. Moltmann mangabaikan inti sari dari iman Kristen yaitu kebangkitan Kristus yang tetap relevan karena rasul Paulus mengatakan bahwa, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar dan demikianlah kamu menjadi percaya. Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. Lebih dari pada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah, karena tentang Dia kami katakan, bahwa Ia telah membangkitkan Kristus -- padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan. Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu”.(1 Kor. 15:3-17)
6. Perdamaian sosial yang universal adalah tujuan didirikannya gereja. Tugas dan tanggung jawab gereja sekarang adalah menyampaikan berita tentang masa depan sehingga masa depan inilah yang akan menggenggam setiap orang. Memang Gereja harus mengupayakan perdamaian dan kesejahteraan sosial yang univeral. Akan tetapi hal tersebut diupayakan gereja sebagai wujud tanggung jawab dan pengabdian kepada Tuhan, bukan demi kepentingan manusia atau gereja.
DAFTRA PUSTAKAN
Bauckham, Richard;Teologi Mesianis, Menuju Teologi Mesianis Menurut Jurgen Moltmann, Jakarta: BPK Gunung mulia, 1996
Becker, Dieter, Pedoman Dokmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Brower, Kent E & Elliott, Mark W., (Ed), Eschatology in Bible & Theology, Evangelical Essay at the Down of a New Millenium, Illinois: Intervarsity Press, 1997
Enns; Paul; The Moody Handbook of Theology 2; Malang: Literatur SAAT, 2006
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996
Moltmann, Jurgen, Theologi of Hope; New York: Harper Collins Publisher, 1991
Moltmann, Jurgen, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God. Translated by Margaret Kohl; San Francisco: Harper & Row, Publishers, 1981
Wilson, John E, Introduction to Modern Theologi, London : Westminster John Knox Press, 2007
A. PENDAHULUAN
Eskatologi adalah salah satu topik yang penting dalam teologi Kristen. Topik eskatologi ini adalah topik yang sangat rentan terhadap pengajaran yang tidak sehat karena berkaitan dengan hal-hal yang bersifat nubuatan. Walaupun topik ini rentan terhadap pengajaran yang tidak sehat, namun masih ada banyak teolog Kristen yang berusaha untuk merumuskannya berdasarkan pemahaman masing-masing, dan sesuai dengan metode penafsiran mereka terhadap Alkitab. Topik eskatologi yang dibahas dalam makalah ini adalah: Apakah pandangan Motlmann tentang eskatologi dan bagaimana tanggapan kelompok terhadap pandangan Moltmann itu? Namun sebelumnya kami memberikan beberapa informasi tentang hidup, karya, tokoh-tokoh yang mempengaruhinya dan metode pendekatannya. Hal ini penting karena lazimnya teologi seseorang berakar di dalam biografinya.
1. Biografi
Jurgen Moltmann dilahirkan di Hamburg Jerman pada tanggal 8 April 1926 dan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat sekuler. Pada umur 16 tahun Moltmann mengidolakan Albert Einstein dan berharap untuk belajar matematika di Universitas. Teologi belum memainkan apapun dalam hidupnya. Moltmann menempuh ujian masuk untuk melanjutkan pendidikannya, namun sebaliknya ia pergi berperang sebagai seorang tenaga pembantu dalam angkatan udara Jerman. Bahan-bahan Bacaan yang dibawanya ke dalam penderitaan perang adalah Puisi-puisi karya Goethe dan karya-karta Nietzsche. Pada tahun 1944 ia sungguh-sungguh terkena wajib militer dan menjadi tentara di militer Jerman. Pada tahun 1945 ia menyerah kepada tentara Inggris dan dari tahun 1945 sampai 1948 ia ditawan sebagai tawanan perang dan dipindahkan dari satu kamp ke kamp yang lainnya. Ia mula-mula ia ditawan di Belgia. Di kamp di Belgia, para tawanan tidak mempunyai banyak kegiatan akibatnya pikiran-pikiran mereka mulai tersiksa. Moltman dan rekan-rekan setahanan merasa tersiksa oleh kenangan dan pikiran-pikiran yang menghawatirkan. Moltmann mengaku telah kehilangan semua pengharapan dan kepercayaan terhadap budaya Jerman karena kamp-kamp konsentrasi tempat orang Yahudi dan yang lain-lainnya yang ditahan oleh Nazi telah dibunuh. Moltmann mengaku bahwa ia menyesal sehingga ia sering merasa bahwa lebih baik ia mati bersama-sama dengan rekan-rekannya dari pada tetap hidup untuk menghadapi apa yang telah dilakukan bangsanya. Moltmann bertemu dengan sekelompok orang Kristen di kamp itu dan seorang pendeta tentara Amerika memberikan kepadanya sebuah Kitab Perjanjian Baru dan Mazmur. Perlahan-lahan ia mulai mengidentifikasi dan mulai mengandalkan iman Kristen. Pada akhirnya Moltmann mengaku “saya tidak menemukan Kristus, Dialah yang menemukan saya.” Setelah penahanan di Belgia, ia dipindahkan di sebuah kamp di skotlandia dan di sana ia bekerja dengan orang-orang Jerman lainnya untuk membangun kembali daerah-daerah yang rusak karena pengeboman. Keramahtamahan penduduk setempat terhadap para tawanan menimbulkan kesan yang mendalam pada dirinya. Pada Juli 1946, ia dipindahkan untuk terakhir kalinya ke sebuah penjara Inggris yang terletak dekat dengan Nottingham yaitu kamp Northern. Kamp itu dioperasikan oleh YMCA (Youth Mission Christian Assuciation), dan di sana Moltmann bertemu banyak mahasiswa teologi. Di kamp Northern ia menemukan buku Reinhold Niebuhr, Nature and Destiny of Man I, itu adalah buku teologi pertama yang pernah dibacanya dan Moltmann mengaku bahwa buku itu menimbulkan dampak yang hebat dalam hidupnya. Pada tahun 1948 Moltmann kembali ke rumahnya dan menemukan kotanya Hamburg dan seluruh negerinya dalam keadaan hancur karena pengeboman tentara sekutu semasa perang dunia ke II. Moltmann menempuh pendidikan teologinya di Universitas Goettingen, sebuah lembaga yang para profesornya merupakan pengikut-pengikut Karl Barth.
2. Karya-karya Moltmann
Kita tidak dapat mengetahui semua karya yang pernah dihasilkan oleh Jurgen Moltmann selama masa hidupnya. Menurut Bauckham , Moltmann menghasilkan cukup banyak karya dalam bidang teologi, akan tetapi karya yang terkenal dan turut memberikan sumbangsih dalam dunia teologi secara luas terdiri atas tiga karya yaitu: Theology of Hope (1964), Karya ini sangat dipengaruhi oleh orientasi eskatologis dari karya filsuf Ernst Bloch (The Principal of Hope); The Crucified God (1972) yang menegaskan bahwa Allah mati pada kayu salib, sehingga membangkitkan pertanyaan tentang impasibilitas Allah. ; The Church in the Power of the Spirit (1975) menjelaskan tentang implikasi-implikasi dan eksplorasi bagi gereja di dalam kehidupannya dan dunia.
3. Teolog-Teolog yang mempengaruhi Moltmann
Pemikiran-pemikiran dari Jurgen Moltmann tidak jatuh dari langit, tetapi ia sangat dipengaruhi oleh beberapa tokoh terkenal yakni: Karl Barth dengan dialektika teologinya dan Ernst Bloch dengan filsafat Marxismenya. Douglas Meeks sudah secara tepat sekali melacak asal-usul teologi pengharapan dari Moltmann dalam pengaruh dari guru-gurunya yaitu Otto Webber, ernst Wolf; Hans Joachim Iwand; Gerhard von Rad, dan Ernst Kasemann. Dengan merekalah Moltmann belajar teologi di Gottingen tahun 1948. Moltmann pasti belajar banyak juga dari Karl Barth, yang dengan Kristosentrisnya yang tidak mengenal kompromi sudah melengkapi gereja selama perang dunia II dan sekarang berbicara kepada orang-orang yang mengalami suasana peperangan seperti Moltmann yang datang ke perkuliahan langsung dari perjara perang.
4. Metode pendekatan dan Hermeneutik Moltmann
Metode berteologi yang dipakai oleh Moltmann adalah: teologi yang menyeluruh dibahas dari dalam satu titik perhatian. Dalam teologi pengharapan, pengharapan yang tadinya merupakan objek teologi, sekarang menjadi subjek teologi. Berpikir teologis dari segi pengharapan berarti melihat seluruh teologi dalam terang masa depan Allah.
Eksplorasi adalah salah satu metode Moltmann dalam melakukan teologi. Moltmann mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan teologi dalam bentuk pembelaan doktrin-doktrin atau dogma-dogma gerejawi kuno. Selain itu, ia menekankan dialog, karena itu, pendekatan teologisnya tentang kebenaran Allah adalah dialogis. Moltmann berpendapat bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam dialog bukan dalam sistem teologis dan ketegasan dogmatika. Selain itu, Moltmann berpendapat bahwa teologi Kristen harus dikembangkan dalam persekutuan oikumenis, tetapi persekutuan ini harus melampaui kelompok keagamaan kita sendiri, batas-batas budaya dan politik. Oleh karena itu, Moltmann telah terlibat dalam dialog ekumenis dengan Katolik, Kristen Ortodoks dan Yahudi.
Bagi Moltmann, prinsip hermeneutik adalah eskatologi, dan pengharapan merupakan tema utama dari Alkitab. Namun Moltmann memahami gereja sebagai yang membentuk masa depan dan memberikan pengharapan melalui interaksi sosial, khususnya untuk orang miskin dalam masyarakat.
B. ESKATOLOGI MENURUT MOLTMANN
Moltmann mengkritik teologi ortodoks yang menekankan eskatologi sebagai suatu kepercayaan tentang peritiwa-peristiwa tertentu pada akhir zaman. Sebaliknya Moltmann melihat eskatologi sebagai suatu faktor yang membentuk semua teologi Kristen. Karena itu Moltmann keberatan jika eskatologi dijadikan pelengkap dari teologi Kristen dan ditempatkan di akhir dari semua bidang teologi. Menurut Moltmann, eskatologi adalah ajaran atau doktrin tentang pengharapan Kristen. Pengharapan Kristen itu bukan saja pengharapan tentang hal-hal yang akan datang, tetapi juga realitas masa kini oleh karena harapan tersebut merevolusi dan mentransformasi masa kini. Hal ini ditegaskan Moltmann dalam karyanya yang pertama yaitu “Theology of Hope” bahwa,
“In actual fact, however, eschatology means the doctrine of the Christian hope, which embraces both the object hoped for and also the hope inspired by it. From first to last, and not merely in the epilogue, Christianity is eschatology, is hope, forward looking and forward moving, and therefore also revolutionizing and transforming the present. The eschatological is not one element of Christianity, but it is the medium of Christian faith as such, the key in which everything in it is set, the glow that suffuses everything here in the dawn of an expected new day”.
Teologi pengharapan Moltmann adalah eskatologi yang berpusat dan berfokus pada harapan-harapan yang dibawa oleh kebangkitan Kristus. Melalui iman kita terikat kepada Kristus, dan dengan demikian kita memiliki harapan pada Kristus yang bangkit, dan pengetahuan akan kedatangan-Nya kembali. Bagi Moltmann, harapan iman Kristen adalah harapan dalam kebangkitan Kristus yang disalibkan.
Moltmann memahami iman Kristen sebagai harapan yang utama tentang masa depan manusia dan dunia yang dijanjikan oleh Allah dalam kebangkitan Yesus yang disalibkan. Jadi bagi dia eskatologi mengungkapkan sikap pengharapan yang mendasari semua iman. Bagaimanapun, eskatologi Kristen tidak berarti masa depan yang demikian yaitu masa depan yang diharapkan saja, tetapi eskatologi Kristen adalah eskatologi yang ditetapkan dari sebuah realitas dalam sejarah yang riil dan yang berkuasa atas masa depan.
Moltmann menyajikan eskatologi Kristen sebagai sebuah doktrin pengharapan yang aktif agar dapat memberi harapan untuk alternatif masa depan bagi yang tertindas dan menderita pada masa sekarang ini. Itulah sebabnya, seorang teolog tidak hanya peduli untuk menyediakan suatu interpretasi yang berbeda dalam dunia, sejarah dan kehidupan manusia, tetapi untuk mengubah mereka dalam pengharapan akan transformasi ilahi". Oleh karena itu, sejarah adalah realitas yang dilembagakan oleh janji Allah dalam kehadiran Allah dan dialami oleh manusia sebagai pergerakkan janji masa depan dalam suatu antisipasi. Dalam pengertian ini, eskatologi Moltmann dalam Teologi Pengharapan ini berbeda dari teologi eskatologis tradisional tentang “'akhir zaman”.
Moltmann menyatakan bahwa, harapan berpangkal dari iman akan Yesus Kristus yang menderita, dan bangkit sebagai wujud solidaritas Allah, atau keterlibatan Allah dalam sejarah dan dalam manusia yang mengalami penderitaan. Allah pun tersalib di dalam manusia yang menderita. Yesus menjadi wujud konkret solidaritas Allah ini atas dasar cinta kasih-Nya. Yesus adalah kepenuhan sekaligus pintu gerbang dari ‘janji’ keselamatan Allah bagi manusia dalam ‘kasih’. Keterlibatan ini tampak dalam dinamika sejarah yang terus menerus diperjuangkan oleh manusia dalam rangka antisipasi terhadap janji Allah ini.
Dengan demikian, eskatologi berarti hidup kekal sebagai janji Allah yang telah dimulai dan senantiasa berjalan dalam dinamika relasional antara Allah dan manusia (Perichoresis). Iman akan eskatologi tidak lagi dipahami hanya janji Allah pasca kematian namun riil dan sungguh hadir dalam keterlibatan manusia untuk mempertanggungjawabkan hidupnya yang bermakna. Makna ini didorong oleh kasih yang di dalamnya hidup kekal itu benar-benar ada. Eskatologi Kristiani harus memberi perhatian pada sejarah dan pada keterlibatan Allah dalam sejarah.
Mengenai kebangkitan Kristus, Moltmann mengatakan bahwa, “Di dalam kebangkitan Kristus, Allah menjanjikan “suatu dunia baru yang mencakup segala sesuatu yang hidup. "Di mana yang baru dimulai, yang lama menjadi jelas. Di mana yang baru dijanjikan, yang lama menjadi sementara dan dapat dilampaui. . .. Jadi, kebangkitan Kristus yang historis dipandang dari sudut akhirnya." Demikian juga kematian dan dosa sudah menjadi "sementara" di dalam janji Allah tentang kebangkitan orang mati pada masa yang akan datang
KESIMPULAN
Teologi Moltmann dapat dirangkum sebagai berikut: Allah adalah bagian dari proses waktu dan bergerak ke arah masa depan. Karena itu Allah tidak Absolut, tetapi Ia sedang berjalan ke arah masa yang akan datang, dimana janji-janji-Nya akan digenapi. Masa depan merupakan natur esensi dari Allah. Kebangkitan Yesus Kristus sebagai peristiwa sejarah adalah tidak penting. Kepentingan dari kebangkitan Kristus adalah eskatologikal dan harus dipandang dari masa depan, karena hal itu memberikan suatu pengharapan bagi kebangkitan umum di masa depan. Jangan melihat dari masa depan dari kuburan yang kosong. Moltmann mengusulkan untuk melihat ke masa depan yang disahkan oleh kebangkitan Kristus. Manusia juga harus dilihat dari sudut pandang masa depan, “manusia dapat dipahami, hanya dalam kaitan dengan referensi pada suatu sejarah yang tidak damai, dan terus menerus menguak sejarah dalam relasi dengan masa depan Allah.”
Solusi bagi manusia adalah mengasosiasikan dirinya dengan Allah “yang menyingkapkan diri-Nya, pada saat manusiaa direndahkan dan dilecehkan.” Moltmann menyebut hal itu sebagai teologi salib. Manusia berbagi dalam teologi salib ini dengan menerima tantangan hidup sebagai saat masa depan yang masuk ke masa sekarang.
Manusia harus secara aktif berperan serta dalam masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan. Gereja-gereja suku, kelas sosial, status dan nasional’ harus dihapuskan. Gereja memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan dan harus dapat membawa berita yang mengubah masyarakat. Gereja harus melihat lebih jauh dari keselamatan pribadi dan menantang semua penghalang dan struktur di antara orang-orang yang berbeda. Gereja merupakan alat untuk Allah membawa perubahan dan rekonsiliasi antara yang kaya dan yang miskin, antara suku-suku dan struktur-struktur yang palsu. Revolusi dapat menjadi salah satu cara yang dipakai gereja untuk mengakibatkan perubahan.
Moltmann berdasarkan penekanannya pada masa depan, menyangkali sejarah yang umum dan normal. Ia menolak signifikansi dan kehistorisan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam usaha menyejajarkan sejarah dan eskatologi, ia meyangkali arti sebenarnya dari sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam konsepnya tentang Allah, Moltmann menyangkali ketidakberubahan Allah (Mal. 3:6) dan mengusulkan Allah yang tidak absolut, “tetapi yang sedang begerak ke masa depan.”
Dalam konsepnya tentang perubahan yang berhasil dalam masyarakat, pengaruh Moltmann dari Marxisme dan “Marxisme Kristen” dari Ernst Bloch sangat terlihat. Tidak diragukan bahwa banyak dari teologi pembebasan berakar pada teologi Moltmann yang menekankan revolusi dan perubahan sosial. Perubahan itu tidak dicapai melalui keselamatan individual, melainkan melalui tindakan mengkonfrontasi ketidakadilan dalam masyarakat.
Pengharapan Moltmann bagi masa depan juga terkait dengan optimistik humanisme filsafat Hegel, dimana ia melihat masa lalu (tesis) sebagai suasana kacau balau, masa depan (antitesis) sebagai pengharapan, keharusan usaha di masa sekarang (sintesis) untuk menghasilkan perubahan. Ringkasnya, Moltmann lebih berhutang pada Karl Marx untuk teologinya, dibandingkan dengan pengajaran Kitab Suci.
TANGGAPAN
Para teolog Kristen semakin kuatir terhadap keadaan dimana orang semakin menaruh pengharapan mereka pada prinsip-prinsip sekular dan humanistik yang murni. Cara meresponi hal ini, para teolog jaman itu mulai membangkitkan lagi spirit yang anti-intelektual, kembali ke mistikisme, dan memusatkan diri pada sifat Allah yang hanya transendent. Di satu pihak Teologia Pengharapan membangkitkan lagi pengharapan masa yang akan datang yang telah runtuh akibat perang dan ideologi atheisme, tapi di pihak lain telah meruntuhkan berita utama dan prinsip-prinsip Alkitab. Secara umum pengajaran teologi pengharapan dapat dikenali dari beberap hal sperti berikut:
1. Teologi Pengharapan mendefinisikan ulang konsep eskatologi orthodoks, bahwa eskatologi menurut mereka adalah keterbukaan pada masa yang akan datang. Tidak ada waktu yang membatasi datangnya masa yang akan datang itu, manusia tidak tahu bahkan Allahpun tidak mengetahuinya. Pemikiran Moltmann ini sangat bertentangan dengan penyataan Akitab tentang kemahatahuan Allah (1 Sam. 2:3; Ayb. 37:16)
2. Teologia pengharapan disebut sebagai "Teologia Futuristik", karena menurut Moltmann yang paling penting adalah pengharapan untuk masa yang akan datang. Hal-hal yang diperjuangkan sekarang adalah untuk masa dan pengharapan yang akan datang dalam dunia ini. Dalam pengertian tertentu pemikiran Moltmann dapat diterima, karena kita harus memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Akan tetapi masa depan yang dimaksud oleh Moltmann adalah masa depan dalam dunia ini, sedangkan dalam membicarakan eskatologi, Alkitab lebih menunjuk kepada masa depan di dunia yang baru. Selain itu, bagi orang-orang pilihan bukan hanya masa depan saja yang penting tetapi masa sekarang juga penting karena orang-orang pilihan sudah hidup di dalam kerajaan Allah yang sudah ditegakkan melalui hidup dan karya Kristus (Mat. 12:28; 21:43; Luk 17:21).
3. Imanensi Allah ditiadakan, karena Allah menurut teologi pengharapan sebenarnya hadir hanya dalam janji-janji-Nya saja, yaitu janji-janji tentang masa yang akan datang. Janji-janji pengharapan yang akan datang inilah yang menjadi sifat hakiki dari Allah. Allah akan menjadi Allah jika Ia memenuhi janji-janji- Nya itu. Oleh karena itu Allah ditentukan oleh masa yang akan datang ini. Kami tidak setuju dengan pernyataan ini karena Allah adalah transenden dan Imanen. Mengabaikan salah satu dari kedua aspek ini, maka sedang menyangkal Allah yang menyatakan diri dan dikenal melalui Alkitab.
4. Allah tidak mempunyai otoritas yang mutlak, karena Allah sendiri ditentukan oleh masa depan. Oleh karena itu tidak ada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah untuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah kebebasan yang memiliki sifat relatif. Itu sebabnya Allah tidak dapat ditempatkan di luar waktu, eksistensi Allah dan masa depan Allah ditentukan oleh waktu. Bagi kami, Allah adalah pribadi yang berotoritas atas segala sesuatu. Ia menetapkan segala sesuatu menurut kerelaan kehendak-Nya (Ef. 1:11)
5. Memusatkan berita eskatologi pada manusia bukan pada Kristus dan kedatangan-Nya yang kedua kali yang penuh kemuliaan. Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan kunci eskatologi karena itu merupakan jaminan Allah akan kebangkitan-Nya yang akan datang. Namun kematian dan kebangkitan Kristus tidak mempunyai relevansi bagi kehidupan kita masa kini. Moltmann mangabaikan inti sari dari iman Kristen yaitu kebangkitan Kristus yang tetap relevan karena rasul Paulus mengatakan bahwa, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar dan demikianlah kamu menjadi percaya. Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. Lebih dari pada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah, karena tentang Dia kami katakan, bahwa Ia telah membangkitkan Kristus -- padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan. Sebab jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu”.(1 Kor. 15:3-17)
6. Perdamaian sosial yang universal adalah tujuan didirikannya gereja. Tugas dan tanggung jawab gereja sekarang adalah menyampaikan berita tentang masa depan sehingga masa depan inilah yang akan menggenggam setiap orang. Memang Gereja harus mengupayakan perdamaian dan kesejahteraan sosial yang univeral. Akan tetapi hal tersebut diupayakan gereja sebagai wujud tanggung jawab dan pengabdian kepada Tuhan, bukan demi kepentingan manusia atau gereja.
DAFTRA PUSTAKAN
Bauckham, Richard;Teologi Mesianis, Menuju Teologi Mesianis Menurut Jurgen Moltmann, Jakarta: BPK Gunung mulia, 1996
Becker, Dieter, Pedoman Dokmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Brower, Kent E & Elliott, Mark W., (Ed), Eschatology in Bible & Theology, Evangelical Essay at the Down of a New Millenium, Illinois: Intervarsity Press, 1997
Enns; Paul; The Moody Handbook of Theology 2; Malang: Literatur SAAT, 2006
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996
Moltmann, Jurgen, Theologi of Hope; New York: Harper Collins Publisher, 1991
Moltmann, Jurgen, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God. Translated by Margaret Kohl; San Francisco: Harper & Row, Publishers, 1981
Wilson, John E, Introduction to Modern Theologi, London : Westminster John Knox Press, 2007
Langganan:
Postingan (Atom)