Foto Wisuda Pasca Sarjana

Selasa, 11 Mei 2010

Antinomianism

Antinomianism

Perkataan Antinomianism berasal dari dua kata bahasa Yunani; anti: yang berarti “menentang”, dan nomos: yang berarti “hukum”. Antinomianism berarti: “melawan hukum”. Dalam pengertian bahwa kepercayaan tidak ada hukum moral Allah untuk ditaati (II Petrus 2:1-2,10,19. Ayat 1-2 = Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil ditengah-tengah umat Allah, demikian pula diantara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan jalan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka. Banyak orang akan mengikuti cara hidup mereka yang dikuasai hawa nafsu, dan karena mereka Jalan Kebenaran akan dihujat. Ayat 10 = Terutama mereka yang menuruti hawa nafsunya karena ingin mencemarkan diri dan yang menghina pemerintahan Allah. Ayat 19 = Mereka menjanjikan kemerdekaan kepada orang lain, padahal mereka sendiri adalah hamba kebinasaan, karena siapa yang dikalahkan orang, ia adalah hamba orang itu).

Sengketa yang terjadi dalam Antinomianism juga dicatat dalam Kis 15:5, yakni: Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya datang dan berkata:”orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan wajib untuk memenuhi hukum Musa.

Antinomianism memerlukan pengajaran yang Alkitabiah. Ketika Yesus Kristus disalib, ia memenuhi hukum Perjanjian Lama. Roma 10:4 = Sebab Kristus adalah kegenapan Hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya. Galatia 3:23 = Sebelum iman itu datang kita berada dibawah pengawalan Hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu dinyatakan. Efesus 2:15 = Sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan Hukum taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan meleyapkan perseteruan pada salib itu. Roma 5:20= Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin bertambah dan dimana dosa semakin banyak, disana kasih karunia menjadi melimpah-limpah.


Paulus menggunakan istilah Kebebasan dalam Kristus (Galatia 2:4 = Memang ada desakan dari saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu mereka yang menyeludup masuk, yaitu mereka yang menyeludup ke dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita miliki di dalam Yesus Kristus, supaya dengan jalan itu mereka dapat memperhambakan kita), jelas bahwa ini adalah pelanggaran hukum (yang tidak menurut hukum Musa). Paulus dituduh mendesak orang untuk menyembah Allah dangan cara-cara yang bertentangan dengan hukum (Kisah para Rasul 18:12-16 = Akan tetapi setelah Galio menjadi gubernur di Akhaya, bangkitlah orang-orang Yahudi bersama-sama melawan Paulus, lalu membawa dia ke pengadilan. Kata mereka:” Ia ini berusaha untuk meyakinkan untuk beribadah kepada Allah dengan jalan bertentangan dengan hukum Taurat.” Ketika Paulus hendak mulai berbicara, berkatala Galio kepada orang-orang Yahudi, jika sekiranya dakwaanmu mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan, sudah sepatutnya aku menerima perkaramu, tetapi kalau hal itu adalah perselisihan tentang perkataan atau nama atau hukum yasng berlaku diantara kamu, maka hendaklah kamu sendiri yang mengurusnya; aku tidak rela menjadi hakim atas perkara demikian. Lalu ia mengusir mereka dari ruang pengadilan). Dalam Kisah Para Rasul 21:21: Tetapi mereka mendengar tentang engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal diantara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita.

Paulus menjelaskan juga bagaimana ciri khas kehidupan orang Kristen: Galatia 2:17 = Tetapi jika kami sendiri, sementara kami berusaha untuk dibenarkan dalam Kristus ternyata adalah orang-orang berdosa, apakah hal itu berarti bahwa Kristus adalah pelayan dosa? Sekali-kali tidak.
Galatia 5:4-5 = Kamu akan lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup diluar kasih karunia. Sebab oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang akan kita harapkan.
Roma 2:13 = Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar dihadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.
Roma 2:26 = Jadi jika orang tak bersunat memperhatikan tuntutan-tuntutan Hukum Taurat, tidaklah ia dianggap sama dengan orang-orang disunat.

Antinomianism adalah bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Allah mengharapkan kita untuk hidup dari moralitas, integritas, dan cinta. Hukum moral Allah mengharapkan kita taat I Yoh 5:3; Sebab inilah kasih kepada Allah bahwa kita menurut perintah-Nya . Perintah-perintahNya itu tidak berat. Matius 22:37-40; kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Yesus membebaskan kita dari perintah hukum Perjanjian lama. Kita harus mengalahkan dosa dan mempererat kebenaran dan Roh kudus (I Yoh 2:3-6; Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menurut perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya. Tetapi barang siapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sempurna kasih Allah , dengan itulah kita ketahui, dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia).

Oleh: Alpon Marulam Sihite,M.Div

Transendensi Eskatologi Karl Barth

Transendensi Eskatologi Karl Barth
A. Pendahuluan
Pemikiran manusia mengenai akhir dari dunia ini diformulasikan dalam berbagai bentuk di sepanjang sejarah teologi dengan sebutan yang diambil dari dua kata Yunani esctoj =eschatos [hal-hal yang terakhir] dan logoj =logos [kata, ilmu, Firman]. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan [saat terakhir, waktu terakhir]. Maka eskatologi berarti ilmu atau Firman mengenai "hari-hari terakhir atau ajaran Firman Allah tentang "hal-hal yang akan terjadi pada "hari-hari terakhir" atau Firman tentang akhir jaman. Eskatologi memiliki cakupan pembahasan yang cukup luas makna dan kaitannya, yakni berhubungan dengan hidup kekal, Kerajaan Allah, millenium, surga, neraka, juga mencakup kematian, kebangkitan, penghakiman, dan penyempurnaan yang terakhir, yang terjauh atau paling ujung dll.
Pemikiran mengenai eskatologi yang didedikasikan saat ini begitu banyak dan berfariasi. Kenyataan ini terlihat pada teolog serta kelompok tertentu, misalnya; Adolf von Harnack mengenai "classic liberal eschatology", Rudolf Bultman mengenai "existential eschatology, "dispensational eschatology oleh gereja di Inggris dan Amerika (1909, 1917)", Imanuel Kant tentang "transcendental eschatology, Jurgen Moltmann mengenai "eskatologi futuris” Wolfhart Pannenberg mengenai "eskatologi dalam sejarah keselamatan", dan masih banyak yang lain yang tidak kami sebutkan.
Maka dalam makalah ini kami hanya membatasi pembahasan kami mengenai kata, kalimat dan istilah yang digunakan dalam pemikiran Karl Barth yang lahir tahun 1886 di Basel dengan tajuk "transendensi eskatologi Karl Barth". Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: apakah yang dimaksud dengan transendensi eskatologi Karl Barth?
I. Latar Belakang dan Sentralitas Teologi Karl Barth
Sebelum melangkah jauh untuk memahami konsep eskatologi Barth, teriebih dahulu kami memperhatikan presuposisi Barth di dalam membangun konsepnya yang tersaji dalam 13 seri "Kirchliche Dogmatik" serta tafsirannya mengenai Kitab Roma.
Ada yang menekankan bahwa sentralitas Churcs Dogmatis Barth sebaiknya dipahami melalui konsep "latar belakang historisnya", ada yang memahaminya melalui konsep "dialektika", "ada yang melihat dari "teologi Firman", ada yang mendekatinya bahwa Barth memahami Allah PL adalah Allah agama yang datang pada masa lampau dan Allah PB yang adalah Allah Injil yang nyata dalam tafsiran Kitab Roma, ada pula melalui "konsep Tritunggal" sebagaimana disampaikan Nuban Timo mengenai tujuh pendekatan.
Semua perbedaan pendekatan di atas memiliki kesamaan pemikiran bahwa Churcs Dogmatisnya Barth, ditulis sebagai reaksi terhadap paham Liberal yang dianggap gagal memahami konsep Allah, sehingga setelah memahami, [mereduksikan] tulisan dari Luther dan Calvin lalu tetap mempertahankan konsep ketransendenan Allah. Allah yang transenden menjadikan manusia tidak mungkin memahami Allah yang jauh di atas jangkauan manusia yang terbatas, sehingga dipisahkan oleh batas yang hanya dapat dilalui dari Allah kepada manusia. Transendensi Allah mengakibatkan, "ketika manusia berbicara tentang Allah hanya atas dasar kebutuhan manusia sehingga Allah hanya kelihatan sebagai sebuah kemungkinan agama." Agama hanyalah suatu keinginan manusia untuk keluar dari keterbatasannya secara psikologis, intelektual, moral, politik, dan kesadaran religius untuk memahami Allah yang absolut dan jauh dengan sebutan "yonder" Maka Allah yang jauh tidak dapat dibahasakan secara tepat oleh manusia. Allah adalah pencipta yang dirahasiakan dan Allah yang dinyatakan dalam pemahaman dialektis.
Kami memahami bahwa konsep ketransendenan Allah yang dipahami Barth adalah karena presuposisi dialektis mewarnai semua tulisannya termasuk konsep eskatologis. Indikasi ini mengarah pada suatu kondisi secara personal ketika Allah yang transenden itu mendatangi seseorang melalui Firman sebagaimana dikemukakan oleh Eben Nuban Timo. Dengan cara demikianlah Barth memasukan kemanusiaan [kith] dalam sejarah umum, yang dalam kelangsungannya Allah berbagi diriNya dengan [kita], yang dapat dipahami sebagai realitas eskatologi.

II. Transendensi Eskatologi Menurut Karl Barth
Pada bagian ini kami akan menyajikan secara singkat mengenai kata dan kalimat yang digunakan sehubungan dengan topik mengenai transendensi eskatologi oleh Barth.
Jurgen Moltmann mendeskripsikan dalam bukunya yang bertajuk theology of hope mengenai konsep eskatologi dengan istilah transendensi eskatologi. Menarik bahwa Moltmann mengaitkan penyataan Allah oleh Barth dan konsep transendensi Allah menurut Imanuel Kant yang tidak dapat dipisahkan. Moltmann memformulasikan pemahaman transendensi eskatologi Barth bahwa jika Allah tidak mengungkapkan selain dari dirinya sendiri mengenai tujuan penyataan dalam diriNya sendiri ., "revelation of God is then the coming of the eternal to man or the coming of man to himself It is precisely this reflection on the transcendent 'self' that makes eschatology a transcendental eschatology. Revelation consequently becomes the apocalypse of the transcendent subjectivity of Gor or of man"., penyataan Allah datang dari waktunya, dari kekekalan untuk manusia atau datang bagi diriNya sendiri. Hal itu dengan tepat memperlihatkan di sini transendensi "diriNya sindiri" sebagai eskatologi yang transenden, `penyataan sebagai konsekuensi menjadi pengungkapan dari subjektifitas transendensi Allah kepada manusia.
Moltmann memperlihatkan konsistensi pemikirannya dalam memhami warna transendensi eskatologi Barth yang dikenal dengan klausa "dialektika". Menarik bagi kami karena Barth tidak menulis buku secara khusus mengenai eskatologi. Barth mendasari asumsinya bahwa eskatologi bukanlah bab penutup yang singkat dalam dogmatika, melainkan eskatologi berada dalam seluruh keberadaan teologi. Maka perlu menggunakan pendekatan yang tepat guna memahami perspektif eskatologi Barth. Tafsiran Kitab Roma memperlihatkan gagasan Barth bahwa waktu dan kekekalan adalah berbeda namun dipersatuakn oleh Kristus yang menyatakan diri bagi manusia. Barth tetap menekankan transendensi Allah yang mengakibatkan tidak adanya penghubung yang menghubungkan manusia dengan Allah karena Allah berada "nun jauh di sana" walaupun sebaliknya tetap ada penghubung dari Allah kepada manusia. Eskatologi dan kekekalan semacam ini bukanlah kekekalan yang terpisah secara waktu, melainkan terikat erat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari berdasarkan datangnya Allah dari masa depan dan kekekalan melalui pengetahuan dan realitas penyataan. Maka eskatologi bukan merupakan sebuah pengharapan yang akan menjadi sempurna pada penggenapan di masa depan dalam konteks waktu, karena itu bukanlah sesuatu yang penting bagi mananusia. Nubantimo menandaskan transendensi eskatologi Barth memiliki keunikan tersendiri jika mengacu pada prinsipnya bahwa semua konsep mengenai eskatologi [teologi] tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi dan penyataan Allah;
Revelation is present to man as a coming event. It does not follow that the present tense of revelation is taken away. On the contrary, presence and coming have both to be stressed (1/2,940). This is because in revelation past, present and future are not present consecutively but simultaneuosly (1/2, 70). The eschatological character is expressed clearly when Barth says; "This event is to be understood both in principle and in fact as future, as the end of all time. In other words, Jesus Christ who has come is also the one who is yet to come".
penyataan hadir kepada manusia dalam sebuah pristiwa yang mendatang, karena di dalam penyataan masa lampau, sekarang ini, dan masa yang akan datang tidak terjadi secara teratur namun secara terus menerus. Barth menyatakan: peristiwa ini dapat dipahami dalam prinsip dan dalam kenyataan sebagai masa depan, sebagai akhir dari semua waktu. Dengan kata lain, Yesus Kristus yang telah datang dalam kesempurnaannya, juga Dia yang akan datang secara sempurna pula. Itulah sebabnya Barth menegaskan "Thus, in Barth revelation and eschatology are connected to one another.
Dengan demikian maka Barth memahami peristiwa eskatologi terjadi secara terus menerus namun bukan mengalami perkembangan menuju suatu realitas akhir, karena hal itu selalu dan sudah nyata secant sempurna di masa lalu. Selanjutnya Nuban Timo mengemukakan bahwa bagi Barth, realitas penyataan — yang tidak dapat dipisahkan dengan kesempurnaan eskatologi— yang terjadi pada masa lampau, masa kini, serta masa depan, walau pun satu namun berbeda. Berbeda secara waktu tetapi "satu isi" dalam hubungannya dengan objek yakni selalu melihat kepada Yesus Kristus yang mengungkapkan penyataan masa depan. Eskatologi tidak lain hanya konfirmasi dari apa yang telah berlangsung. Demikianlah "penyataan dan eskatologi adalah masalah masa depan dalam masa kini" dan hal itu datang dari masa depan. Namun salah apabila mengatakan bahwa peristiwa masa depan adalah penggenapan atau basil dari penyataan. Barth menolak pendapat yang demikian karena penyataan yang telah berlangsung bukan suatu peristiwa yang bersifat sementara atau sebagian. Sebaliknya, Itu selalu hadir untuk manusia dan dalam kesempurnaan. Penyataan masa depan adalah tidak lain hanya konfirmasi penyataan di masa lampau maupun sekarang. Selanjutnya Nuban Timo menggambarkan konsep Barth demikian;
in future revelation is not different from what took place in the past and is happening in the present. Future revelation will happen as confirmation or justification of that of the past and the present. Concerning its sacramental character, doctrine refers to something beyond itself that is, to revelation while revelation draws attention to itself...The eschatological character of revelation cannot be conceived in this way. Revelation does not partly disclose and partly conceal from man something that he will be able to grasp fully and completely only at the end of time.
Penyataan yang diungkapkan mengenai masa depan tidaklah dilakukan hanya sebagian atau sementara dan sebagiannya tersembunyi bagi manusia sampai akhir waktu untuk dinyatakan lebih lengkap melainkan bahwa apa yang akan terjadi pada penyataan masa depan tidak berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Masa depan akan terjadi sebagai konfirmasi atau pertimbangan pemberian dari masa lampau.
Kami memahami bahwa transendensi eskatologis yang dimaksudkan Karl Barth adalah berdasarkan keberadaan Allah yang berada "nun jauh" dalam kekudusanNya, sehingga tidak dapat dipahami oleh manusia dalam bentuk bahasa apapun. Eskatologi Barth adalah eskatologi garis lurus secara vertikal dari Allah kepada manusia dan bukan sebaliknya. Eksistensi Allah yang berbeda secara natur hanya berkomunikasi dengan manusia melalui penyataan diriNya bagi manusia secara personal melalui "proklamasi Firman yang diresponi dengan iman dan pertobatan", dan bukan melalui khotbah atau pengajaran Firman. Allah yang transenden menyatakan Allah yang terselubung dan Allah yang terselubung itu rela memberikan kenyataan dalam setip pribadi berdasarkan kerelaan-Nya yang mesti diresponi secara iman. Maka ketika seseorang mengalami suasana "proklamasi Firman" menjadikan dirinya relevan dengan "proklamasi Firman" pada saat tertentu dalam waktu" maka pada saat bersamaan itu orang tersebut mengalami realitas eskatologi.
Kami menyimpulakan bahwa transendensi eskatologi oleh Barth bukanlah sebuah realitas kesempurnaan di masa depan karena penyataan Allah selalu dan telah sempurna di dalam waktu lampau, sekarang, dan akan datang. Hal ini terjadi karena penyataan Allah berlangsung secara personal dalam setiap waktu, yang berasal dari Allah yang berada dalam kekekalan dan menghendaki kekekalan itu nyata dalam waktu manusia saat ini, sehingga kenyataan eskatologi sesuai dengan waktu ke depan hanyalah merupakan konfirmasi dari apa yang sudah terjadi dan bukan penggenapan jaman yang bersifat universal.

III. Eskatologi Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Pada bagian ini kami akan mengemukakan pemikiran-pemikiran teologis yang didasarkan pada fondasi pengharapan eskatologi berdasarkan realitas eskatologi PL, dan realitas eskatologi PB.

I. Realitas Eskatologi PL
Pengharapan masa depan sudah ada dalam Kitab PL. Wolfhart Pannenberg menegaskan bahwa dari sejak penciptaan sudah ada konsep eskatologi yang menjiwai semua keberadaan sejarah alam semesta. Semua mahkluk diciptakan untuk dinikmati oleh manusia sambil bersama-sama menantikan realitas eskatologi dengan klausa "sejarah keselamatan, sejarah suci". Semuanya ini tergenapi dan nampak dalam pribadi Yesus Kristus (1Kor. 15:45). Walau pun perlu dipahami bahwa penciptaan dan eskatologi tidak serupa dari sudut pandang ciptaan. Sekarang hanyalah permulaan yang akan meraih bentuknya yang sempurna dan ciri khas yang benar pada akhimya hanya dipandang dari sudut kesempurnaan eskatologi untuk dapat memahami anti dari permulaannya.
Sehubungan dengan pengharapan masa depan, Bavinck menguraikan ayat-ayat PL yang merujuk kepada pengharapan eskatologis, lalu menekankan keunikan eskatologis PL yang bersifat janji mesianis. Umat Tuhan di masa PL memahami relitas masa depan di atas bumi yang penuh dengankemuliaan. Keselamatan yang diharapkan terjadi di atas bumi, bukan di surga. Hal ini nyata dalam nubuatan PL mengenai kedatangan Mesias. Dia seorang yang diurapi dari keturunan Daud, turut menderita dalampenderitaan umatNya, menjadi Hamba Tuhan yang menderita untuk umatNya dan menanggung kesalahan-kesalahan mereka. Ia akan menjadi Raja dan penguasa, lemah lembut, adil, dan melindungi umatNya, Ia tidak hanya Raja melainkan Nabi dan Imam. Ia akan mengalahkan seluruh bangsa-bangsa kafir yang menjajah Israel secara politis untuk kebebasan Israel. which the Messiah bestows righteousness and blessedness on his people and brings it to dominion over all the peoples of the earth, but The Messiah is an earthly ruler but also an everlasting king, a king.
Pemaparan di atas menggambarkan mengenai pengharapan eskatologis di masa PL yang tidak disadari oleh Barth dan bahkan menolaknya. Barth hanya menganggap Kitab PL sebatas sebuah kenyataan yang tidak berbeda dengan kisah sejarah yang tidak menunjukan peningkatan kenyataan mengenai Allah yang menyatakan dirinya dalam sejarah. Barth hanya menekankan sejarah yang terjadi sebagai sejarah Allah yang terlepas dengan natur dan harapan umat Tuhan. Menarik bahwa Hoekema pun mengemukakan keunikan iman eskatologis dalam PL yang dimulai dalam (Kej. 3) tentang kejatuhan manusia segera diikuti dengan janji akan datangnya Juruselamat dalam ayat 15. Ayat ini sering disebut janji induk "mother promise" ini menjadi pokok pikiran seluruh PL. Hoekema mengemukakan "the further histori of redemption will be an unfolding of the content of this mother promis. From this poin on all of Old Testament revalation loks forward, points forward, and eagerly awats the promised redeemer., dapatlah menekankan bahwa ayat tersebut merupakan benih awal keseluruhan rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sejarah selanjutnya merupakan penyingkapan isi yang terkandung dalam janji induk tersebut. Itu sebabnya seluruh penyataan dalam PL melihat menuju masa depan dan rindu menantikan janji mengenai Juruselamat.
Merujuk pada Bavinck mengenai pengharapan mesianis PL dan Hoekema mengenai "mother promise", kami memahami konsep eskatologi PL memilki fondasi, yang jelas sebagai jaminan pengharapan masa depan yang berbeda dengan pemikiran Barth. Walaupun Barth menekankan penyataan Allah mengenai "masa lalu" namun pertanyaannya adalah: apakah penyataan masa lalu yang dimaksud Barth adalah penyataan dalam jaman PL yang terus mengalami perkembangan? Tentunya tidak! Karena Barth tetap menganggap bahwa penyataan Allah dan eskatologi tidak perlu diharapkan lagi kesempurnaannya di masa depan.
Selanjutnya Hoekema menyelidiki dan menguraikan teks-teks PL mengenai konsep eskatologi yang nyata dalam (Ul. 18:15; Maz. 110:4; Za. 9:9; 2Sam. 7:13; Yes. 7:14, 9:7, 42:1-4; 49:5-7; 52:13-15) dan seluruh pasal 53 serta (Dan. 7:13-14). Ayat-ayat ini memperlihatkan bahwa Juruselamat yang dinanti-nantikan oleh orang-orang percaya dalam PL dipahami sebagai sebuah kenyataan yang akan terjadi di masa depan. Hoekema menyimpulkan "berbagai cara dan contoh figur yang dipakai oleh orang-orang percaya dalam PL, mereka adalah orang-orang yang menantikan Juruselamat yang akan datang di suatu masa yang akan datang di hari-hari terakhir,". Bertolak dari teks-teks PL dalam pemikiran Hoekema, kami memahami bahwa Barth melakukan kekeliruan ketika mengatakan bahwa konsep eskatologi bukanlah sebuah penantian ke masa depan yang akan menjadi sempurna, melainkan kesempurnaan eskatologis sudah terjadi secara personal dalam konteks kekinian ketika seseorang mengalami "proklamasi Firman, iman, pertobatan" dari Allah yang transenden, yang akan terjadikan masa depan sebuah "konfirmasi, penegasan".
Hoekema menegaskan bahwa eskatologi Barth tidak memiliki akhir yang jelas sebab teks Alkitab (Zef. 1:14-15; Yes. 11:6-9; 32:15; 35:1; 35:7; 16:17; 66:22) terdapat pengharapan tentang Juruselamat yang akan datang, dan menghancurkan, meremukan kepala si ular. Selanjutnya, pengharapan eskatologis itu semakin diperkaya. Berbagai pengharapan eskatologi tersebut sudah tentu tidak berlangsung secara serempak atau dalam waktu yang bersamaan [sebagaimana konsep Barth], melainkan mengandung bentuk dan waktu yang berbeda-beda."
Bertolak dari pemikiran Bavinck dan Hoekema maka pada bagian ini kami menyimpulkan pula bahwa transendensi eskatologi Barth tidak mengindahkan pengharapan di masa PL sebagai sebuah realitas sejarah yang terus mengalami perkembangan secara progresif sebagaimana konsep progresifitas penyataan Allah. Teks-teks PL memberikan gambaran yang jelas mengenai realitas masa lalu yang tidak dapat dipisahkan dengan orientasi masa kini yang bergerak menuju sebuah akhir dalam kesempurnaan eskatologi masa depan yang belum terjadi secara sempurna melainkan berkembang secara bertahap.

2. Realitas Eskatologi PB
Telah di jelaskan di atas bahwa konsep eskatologi PL berada dalam pengharapna iman yang berorientasi ke masa depan mengenai kedatangan Juruselamat. Maka sekarang penting pula untuk memperhatikan konsep eskatologi PB yang juga berorientasi ke depan. Dengan demikian maka realitas eskatologi Barth, sehubungan dengan tafsiran Kitab Roma 13:11 bahwa eskatologi sudah genap sekarang ini, sehingga kekekalan bukanlah terpisah secara waktu, melainkan terikat erat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Barth menyangkali keterpisahan waktu dan realitas pengharapan dalam PL dan PB yang berbeda secara waktu dan telah terjadi kekekalan pada masa PB, rupanya menghilangkan kesempurnaan di masa depan mengenai berkat yang jauh lebih besar lagi. Menurut Barth, tidak perlu lagi pengharapan masa depan bagi orang percaya sebab semuanya sudah terjadi di dalam realitas kekinian. Sehubungan dengan penolakan terhadap konsep Barth, benarlah apa yang ditegaskan oleh Hoekema bahwa pengetahuan tentang rencana penebusan Allah jauh lebih kaya, iman orang percaya dalam PB jauh lebih diperdalam, dan keyakinan orang percaya terhadap kasih Allah yang nyata dalam Kristus lebih diperkuat. Demikian pula, pada saat yang bersamaan, jauh lebih ditingkatkan. Sebab PB maupun PL sama-sama melihat ke masa depan tentang suatu keyakinan mendalam bahwa karya penyelamatan oleh Roh Kudus saat ini hanyalah awal bagi sebuah penebuasan yang lebih limpah dan utuh di masa yang akan datang.
Eskatologi PB menekankan mengenai Kristus yang bangkit kembali dari antara orang mati (Mrk. 9:9). Yesus selalu menunjuk jauh ke masa depan. Kerajaan Allah akan datang dalam kemuliaan yang sempurna, dan pemerintah Bapa akan dinyatakan melalui Anak meliputi alam semesta (Mat. 24:19-31; 25:31-34; Mrk. 13:24-27; Luk. 21:25-27; Yoh. 5:28-29; 6:44; 14:2-3). Janji Yesus yang penting adalah bahwa Dia akan datang kembali ke bumi pada suatu masa nanti (Yoh. 14:3; Mat. 24:27, 36; Mrk. 13:26; Luk. 21:27; Why. 3:11; 22:7-20). Kedatangan Tuhan merupakan berita penting yang diwartakan para murid Yesus, karena dimuat sebanyak 318 kali dalam PB. KedatanganNya kembali adalah dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya. Kami melihat bahwa semua teks-teks ini mungkin tidak dipahami dengan baik oleh Barth yang menghilangkan realitas pengharapan mengenai masa depan.
Beberapa teks Alkitab di atas menyoroti konsep Barth mengenai hubungan tentang penyataan dan konsep eskatologi yang tidak dapat dipisahkan. Secara logis memang tidak salah kerena penyataan Allah tidak dapat direduksi oleh manusia menjadi terpisah dengan rencana kedatangan kembali di masa depan. Namun tidak demikian halnya maksud Barth di sini. Menurutnya peristiwa penyataan Allah sekaligus membuat eskatologi itu menjadi sempurna pada saat yang bersamaan. Sekali lagi, Barth menyangkali teks-teks PL, demikian pula PB yang menekankan tentang janji masa depan dimana Kerajaan Allah akan disempurnakan.
Meskipun sebenarnya dapat dikatakan bahwa orang percaya dalam PL telah mengalami ketegangan ini, namun ketegangan ini baru dirasa lebih nyata oleh orang-orang PB, sebab orang-orang PB memiliki pengalaman dari nubuat yang telah digenapi dan pengertian yang lebih jelas tentang pengharapan yang akan datang. Hal ini ditegaskan dalam Alkitab namun sayang sekali karena Barth tidak memahaminya dengan baik. Dengan sangat baik Hoekema menulis; "eskatologi bagi Barth bukan lagi suatu penantian terhadap peristiwa-peristiwa tertentu yang akan muncul di masa yang akan datang, melainkan suatu keyakinan kepada Yesus kristus, melalui pertobatan dan iman di setiap saat. Ini sebagai "eskatologi yang tidak terikat oleh waktu" di mana parousia tidak lagi dimegerti sebagai kedatangan Kristus kembali di masa yang akan datang, melainkan sebagai "sebuah simbol yang tidak terikat oleh waktu bagi kerinduan terhadap kekekalan di setiap waktu. konsep ini disebut sebagai "eskatologi vertikal" yang dalam arti berlawanan dengan horizontal."
Dengan demikian, kesalahan Barth adalah masa depan dibawa masuk ke masa sekarang secara vertikaal dari Allah yang jauh, sehingga eskatologi dipahami dengan "yang melanpaui, trans" dan penekanan futurisme dihilangkan karena kekekalan telah hadir secara sempurna sekarang ini.

IV. Kesimpulan dan Saran
Transendensi eskatologi Nuban Timo memperlihatkan tentang Allah yang jauh tidak dapat dijangkau oleh manusia. Inilah eskatologi yang dipengaruhi oleh prasuposisi dialektis oleh filsafat Imanuel Kant tentang keberadaan Allah dan manusia yang berbeda secara natur, dan tidak mungkin mampu memformulasikan eskatologi terlepas dari Allah yang menyatakan diriNya. Pemahaman ini tentunya menjadi racun karena menghilangkan esensi iman Kristen mengenai pengharapan masa depan dan pengharapan bagi kedatangan Kristus kembali.
Eskatologi yang diharapkan pada masa PL telah nyata dalam masa PB terus memperlihatkan perkembangan ke depan yang semakin nyata, sambil dicicipi oleh setiap orang percaya yang telah ditebus oleh Kristus. Hal ini berbeda dengan transendensi eskatologi Barth yang tidak percaya tentang kedatangan Kerajaan Allah yang bersifat universal, bahwa bumi dan alam semesta yang ada akan berakhir. Bagi Barth, secara tersirat alam semesta yang sekarang ada akan tetap ada sehingga orang percaya tidak perlu lagi mengharapkan penggenapan jaman. Sungguh tragis karena Barth hanya mengiming-iming jemaat Tuhan saat ini tentang kekekalan yang tiada pernah berakhir dengan sempurna.
Barth hanya menekankan eskatologi yang bersifat relasi vertikal antara Allah kepada manusia pada masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang dalam realitas kekinian melalui "proklamasi Firman, namun situasi penyataan di masa depan memiliki "isi" yang tidak berbeda karena hanya bersifat konfirmasi, iman, pertobatan" dan bukan penggenapan. Transendensi eskatologi bertolak belakang dengan fakta PL dan PB bahwa orang percaya hendaknya tetap mengharapkan realitas eskatologi yang akan digenapi pada masa depan pada setiap lembar Alkitab dari PL hingga PB.

V. Daftar Pustaka
Balz, Horst & Schneider, Gerhard., Exegetical Dictionery of The New Testament, Volume 2, (William B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, Michigan, 1991)
Barth, Karl., Church Dogmatics 111.2., the Doctrin of Creation, First Paperback, (T&T Clark International, 2004)
,Churcs Dogmatics, 1.1., the Doctrin of the Word of God, (T&T. Clark International, 2004)
Bavinck, Herman., Reformed Dogmatics., Holy Spirit, Church, and New Creation Volume Four, (Baker Academic Grand Rapids Michigan, 1984)
Hoekema, Anthony A., The Bible and Future, (Eerdmans Publising, Grand Rapids Michigan, 1979) .,Alkitab dan Akhir Jaman, (Surabaya: Momentum, 2009)
Moltmann, Jurgen., Theology of Hope, (Sanfransisco: HaperColins Publisher, 1967)
Nuban Timo, Ebenhaizer Imanuel., "The Eschatological Dimension in Karl Barth's Thinking and Speking About thr Future, (Theologiche Universiteit van de Gereformeerde Kerken in Nederland to Kampen, 2001)
Pannenberg, Wolfhart., Systematic Theology Volume 2, ( T&T. Clark International A Continuum Imprin, 2004)
Pauch, Wilhelm., Karl Barth — Prophet of A New Christianity, First Edition I-F, (U.S.A by Harper Brotbers, 1931)
Reymond, Robert L., A New Sistematic Theology of the Christian Fait, One Volume, (Nashville, Tannesea by Thomas Nelson Inc)

Ditulis oleh: Sensius Karlau, M.div

John Calvin dan Misinya

JOHN CALVIN DAN MISINYA

A. Biografi Calvin
Johannes Calvin lahir dengan nama Jean Cauvin pada tanggal 10 Juli 1509 di kota Noyon, Perancis Utara yang dikenal dengan sebutan kota uskup karena kota itu dipimpin oleh para uskup Katolik. Calvin lahir dari pasangan Gerard Cauvin dan Jeanne Lefranc. Calvin memiliki 4 saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Pada usia 3 tahun, ibunya meninggal sehingga ia menjadi seorang piatu. Sedangkan bapaknya meninggal bulan Mei 1531 pada saat ia berusia 20 tahun.
Calvin mengalami suatu pertobatan dalam hatinya sedemikian rupa sehingga ia kemudian menyatakan dalam bagian pengantarnya pada tafsiran kitab Mazmur:
“Allah akhirnya mengalihkan jalan hidupku ke arah yang lain melalui kuasa providensi-Nya yang tersembunyi. Apa yang mula-mula terjadi melalui pertobatan yang tak terduga itu adalah Ia membentuk pikiran saya yang keras menjadi suatu hati yang mau diajar, sebab tadinya saya sedemikian terikat oleh takhayul kepausan sehingga tampaknya tak ada suatu hal pun yang dapat menarik saya dari sedotan lumpur hisap itu”.

Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap positifnya terhadap pernikahan dari pada kehidupan selibat. Ia meminta teman-temannya menolongnya mencarikan seorang perempuan yang "sederhana, taat, tidak sombong, tidak boros, sabar, dan bisa merawat kesehatannya." Pada tahun 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah bersamanya ke Jenewa. Pada 1542, suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal pada 1549 dengan meninggalkan satu kalimat terakhir yang dicatat oleh Calvin:
”O, kebangkitan yang kurindukan. ’O Allah Abraham dan nenek moyang kami. Sudah berabad-abad lamanya semua orang percaya menaruh pengharapannya kepada Engkau dan tidak seorang pun Engkau kecewakan. Begitupulalah saya. Saya menunggu Engkau” .

Calvin menulis bahwa istrinya telah banyak menolongnya dalam pelayanan gerejanya, tidak pernah menghalangi, tidak pernah menyusahkannya dengan urusan anak-anaknya dan berjiwa besar.
Setelah orang-orang yang dikasihinya dipanggil pulang oleh Sang Pencipta, Calvin pun mulai mencurhkan seluruh perhatian serta hidupnya secara penuh untuk pekerjaan Tuhan melalui pengajaran-pengajaran secara lisan maupun melalui tulisan-tulisannya. Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-temannya yang kuatir tentang kadar kerjanya sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?"
Calvin meninggal di Jenewa pada tanggal 27 Mei 1564 pada usia 54 tahun. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang ditandai semata-mata dengan inisialnya, "J.C", sebagai pemenuhan permintaannya agar ia dikuburkan di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara.

B. Pendidikan Calvin
Calvin menempuh pendidikan elementernya dalam istana bangsawan Noyon bersama dengan anak-anak bangsawan itu karena keluarga Calvin memiliki hubungan yang erat dengan keluarga bangsawan Mommor di Noyon.
Keluaranya menentukan bahwa ia akan menjadi imam, tetapi waktu ia mempersiapkan diri di Paris untuk masuk fakultas teologi, terjadi perselisihan antara ayahnya dengan keuskupan Noyon sehingga rencananya batal. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa Calvin tidak mempersiapkan diri dengan cara lain untuk kelak menjadi seorang teolog. Sebab pada tahun 1531 ia kembali ke Paris untuk belajar kesusasteraan dan bahasa-bahasa, yaitu bahasa Latin, Yunani dan Ibrani. Pada Tahun 1523, dalam usia 14 tahun, ayah Calvin mengirimnya ke Universitas Paris untuk belajar hukum. Pada tahun 1532, ia telah menjadi Doktor Hukum di Orléans.
Pada tahun 1533 ia melarikan diri dari Paris karena dicurigai oleh pihak pemerintah sebagai penganut reformasi. Pada waktu melarikan diri dari Paris, ia telah berada di bawah pengaruh Humanisme Kristen yang bersikap kritis terhadap teologi Gereja Katolik Roma yang tradisional, menaruh simpati kepada Luther dan memperjuangkan suatu teologi yang didasarkan pada Alkitab. Pada 1536 ia menetap di Jenewa, ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di sana hingga kematiannya pada 1564.


C. Karya-karya Calvin
Karya Calvin yang pertama adalah sebuah buku teologi yang berjudul ”Psychopanychia (Mengenai tidurnya jiwa-jiwa), suatu karangan yang ditulis untuk melawan ajaran Anabaptis yang mengajarkan bahwa manusia tidur hingga Kristus datang kembali setelah manusia meninggal.
Karya yang kedua adalah Institutio (Pengajaran Agama Kristen). Calvin menerbitkan beberapa revisi dari Institutio, sebuah karya yang menjadi dasar dalam teologi Kristen yang membahas tentang pembenaran oleh iman, predestinasi, pemerintahan gereja, dan inti iman Kristen lainnya yang masih dibaca hingga sekarang. Tulisan ini dibuatnya dalam bahasa Latin pada 1536 (pada usia 26 tahun) dan kemudian dalam bahasa ibunya, bahasa Prancis, pada 1541, dan edisi finalnya masing-masing muncul pada tahun 1559 dan 1560.
Ia juga banyak menulis tafsiran tentang kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk Perjanjian Lama, ia menerbitkan tafsiran tentang semua kitab kecuali kitab-kitab sejarah setelah Kitab Yosua (meskipun ia menerbitkan khotbah-khotbahnya berdasarkan Kitab 1 Samuel dan sastra Hikmat kecuali Mazmur). Untuk Perjanjian Baru, ia melewatkan Surat 2 Yohanes dan Surat 3 Yohanes serta Kitab Wahyu. (Sebagian orang mengatakan bahwa Calvin mempertanyakan kanonisitas Kitab Wahyu, tetapi ia mengutipnya dalam tulisan-tulisannya yang lain dan mengakui otoritasnya, sehingga teori itu diragukan.) Tafsiran-tafsiran ini pun ternyata tetap berharga bagi para peneliti Alkitab, dan setelah lebih dari 400 tahun masih terus diterbitkan.
Dalam jilid ke-8 dari Sejarah Gereja Kristen karya Philip Schaff, sang sejarahwan mengutip teolog Belanda Jacobus Arminius (Arminianisme, sebuah gerakan anti-Calvinis, dinamai sesuai dengan nama Arminius), sehubungan dengan nilai tulisan-tulisan Calvin:
Selain mempelajari Alkitab yang sangat saya anjurkan, saya mengimbau murid-murid saya untuk memanfaatkan tafsiran-tafsiran Calvin, yang saya puji jauh melebihi Helmich (seorang tokoh gereja Belanda, 1551-1608); karena saya yakin bahwa ia sungguh tidak tertandingi dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa tafsiran-tafsirannya harus jauh lebih dihargai daripada semua yang telah diwariskan kepada kita oleh khazanah para Bapak Gereja; sehingga saya mengakui bahwa ia memiliki jauh dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepatnya, jauh melampaui semua orang, apa yang dapat disebut semangat nubuat yang menonjol. Institutio-nya harus dipelajari setelah Katekismus Heidelberg, karena mengandung penjelasan yang lebih lengkap, namun, seperti tulisan-tulisan semua orang, juga mengandung prasangka.

Selain menulis buku Pengajaran Agama Kristen, Calvin juga merancang sebuah tata gereja yang mengatur seluruh kehidupan warga kota di Jenewa menurut cita-cita teokrasi. Bersama-sama Farel, Calvin berusaha melembagakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan kota dan kehidupan keagamaan. Mereka menyusun sebuah buku katekismus dan pengakuan iman; seluruh warga kota itu mereka wajibkan untuk mengakuinya. Dewan kota menolak pengakuan iman Calvin dan Farel, dan pada Januari 1538 mereka mencabut kekuasaan kedua orang ini untuk melakukan ekskomunikasi, sebuah kekuasaan yang mereka anggap penting untuk pekerjaan mereka. Calvin dan Farel menjawabnya dengan memberlakukan larangan umum kepada semua penduduk Jenewa untuk mengikuti Perjamuan Kudus pada kebaktian Paskah. Karena itu, dewan kota pun mengusir mereka dari kota tersebut. Farel pergi ke Neuchâtel, dan Calvin ke Strasbourg.
Pada tahun 1541, ia kembali ke Jenewa dan menyusun satu tata gereja baru yang bernama Ordenances Ecclesiastiques (Undang-undang Gereja).
Sekembalinya ke sana, berbekal wewenang untuk menyusun bentuk kelembagaan gereja, Calvin memulai program pembaharuannya. Ia menetapkan empat kategori dalam pelayanan gereja, dengan peranan dan kekuasaan yang berbeda-beda:
Doktor memegang jabatan dalam ilmu teologi dan pengajaran untuk membangun umat dan melatih orang-orang dalam jabatan-jabatan lain di gereja.
Pendeta yang bertugas berkhotbah, melayankan sakramen, dan menjalankan disiplin gereja, mengajar, dan memperingatkan umat.
Diaken mengawasi pekerjaan amal, termasuk pelayanan di rumah sakit dan program-program untuk melawan kemiskinan.
Penatua yaitu 12 orang awam yang tugasnya adalah melayani sebagai suatu polisi moral. Mereka umumnya mengeluarkan surat-surat peringatan, serta bila perlu menyerahkan para pelanggar ke Konsistori.
Karya Calvin dalam bidang pendidikan yaitu didirikannya sekolah-sekolah. Di Jenewa didirikan sebuah Akademi yang memiliki dua bagian, yaitu gimnaium dan teologi. Di Akademi inilah dipersiapkan pemuda-pemuda calvinis yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin gereja calvinis yang terkenal, seperti John Knox, pembaru gereja di Skotlandia dan Caspar Olevianus, pengarang Kateksimus Heidelberg.
Karya Calvin dalam pemerintahan sipil adalah penekanannya tentang hubungan antara gereja dan negara. Menurutnya seluruh kehidupan masyarakat harus diatur sesuai kehendak Allah. Pemerintah juga bertugas untuk mendukung gereja dan menghilangkan segala sesuatu yang berlawanan dengan berita Injil yang murni. Namun ini tidak berarti bahwa negara berada di bawah gereja, karena gereja dan negara berdampingan. Mengenai tugas negara, Calvin menuliskan sebagi berikut:
”Pemerintah diberi tugas untuk mendukung serta melindungi penyembahan Allah yang lahiriah, supaya penyembahan berhala, hujat terhadap nama Allah, penghinaan terhadap kebenaranNya dan nista lain terhadap agama tidak timbul dengan terang-terangan dan menyebar di anatra rakyat; supaya ketentraman umum tidak terganggu, supaya keikhlasan dan sopan santun tetap dijunjung tinggi”.

D. Pengaruh Calvin dan Ajarannya

Sebagaimana praktik Calvin di Jenewa, terbitan-terbitannya menyebarkan gagasan-gagasannya tentang bagaimana Gereja Reformasi yang benar itu ke banyak gereja dan pemerintahan di bagian Eropa. Calvinisme menjadi sistem teologi dari mayoritas Gereja Kristen di Skotlandia, Belanda, dan bagian-bagian tertentu dari Jerman dan berpengaruh di Prancis, Hongaria (khususnya di Transilvania dan Polandia).
Perkembangan yang cepat itu bukan saja oleh Akademi dan tulisan-tulisannya tetapi juga melalui surat menyurat dengan para pemimpin reformasi di Negara lain, dengan raja-raja dan pembesar-pembesar dunia. Dengan demikian Jenewa menjadi pangkalan baru untuk pembaruan gereja. Hal ini terbukti dalam beberapa dekade, Jenewa sudah berubah menjadi apa yang disebut oleh John Knox sebagai ”Sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada semenjak zaman para rasul”.
Pengaruh Calvin atau Calvinisme di Indonesia dimulai pada saat orang-orang Belanda mendirikan satu kongsi dagang yang diberi nama “Verenigde Oostindicche Compagnie (VOC). Badan ini diberi hak oleh Dewan Kota sebagai pemerintah yang berdaulat. Hak yang diberikan kepada VOC untuk bertindak sebagai pemerintah yang berdaulat, menyiratkan bahwa VOC harus melakukan apa yang menurut pemahaman Calvinis yang dicantumkan dalam pasal 36 Pengakuan Iman Belanda, wajib dilakukan oleh pemerintah Kristen. Namun karena beberapa kendala maka pada zaman VOC, gereja yang ditanam adalah gereja Calvinis. Namun Calvinisme itu tidak berakar dalam dan kurang memberi warna khusus pada kekristenan di Indonesia.
Saat VOC dibubarkan, gereja berada dalam keadaan yang menyedihkan karena tidak ada lagi pemberitaan Injil kepada orang-orang pribumi. Namun sekarang pekabaran Injil kepada orang-orang Indonesia mengalami perkembangan, dan pengaruh Calvinisme tetap terasa dalam gereja-gereja di Indonesia. Pengaruh yang terlihat nyata dalam gereja-gereja di Indonesia adalah masih terlihat gereja-gereja yang bercorak Calvinis dengan ajrannya yang ketat, serta pemerintahan gereja yang diadopsi dari pemerintahan yang ditetapkan oleh Calvin di Jenewa.

D. Kesimpulan
Signifikansi misi gereja yang dapat diteladani dari Calvin adalah penekanannya terhadap ajaran-ajaran Kristen yang alkitabiah kepada jemaat melalui khotbah-khotbah dan juga pengajaran-pengajaran. Gereja bertanggung jawab untuk mendidik jemaat sehingga dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain terpancar kemuliaan Tuhan, karena Tuhan bertakhta dalam segala aspek kehidupan manusia.
Satu karya besar dari Calvin yang menjadi harta gereja adalah buku Institutio (Pengajaran Agama Kristen) yang menjadi pedoman pengajaran iman Kristen. Misi Calvin untuk gereja dan jemaat telah tertuang dalam buku itu. Oleh karena itu, dalam menjalankan misi Tuhan, kita harus tetap mempertahankan ajaran yang alkitabiah agar gereja tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ajaran yang menyesatkan di zaman akhir ini. Misi calvin adalah mengembalikan gereja kepada kebenaran pada zaman dan dalalm konteksnya, maka misi kita pada zaman akhir ini juga adalah tetap mempertahankan ajaran gereja yang Alkitabiah dan mengembalikan gereja yang mulai keluar dari kebenaran yang Alkitabiah kepada dasar ajaran yang alkitabiah yaitu para rasul.

Literatur:

Christian de Jonge; Apa itu Calvinisme; BPK Gunung Mulia; Jakarta: 2000
Djoko Sulistyo, Johanes calvin – Anak Piatu yang menjadi Pembaru Gereja; BPK Gunung Mulia; Jakarta: 1999
F. D. Wellem; Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja; BPK Gunung Mulia; Jakarta: 2003
I. H. Enklaar; Sejarah Gereja Ringkas; BPK Gunung Mulia; Jakarta: 1996
Situs : http\\www.Sabda.org/tokoh gereja
Th. van den End; Institutio (Pengajaran Agama Kristen); BPK Gunung Mulia; Jakarta 2005


Ditulis Oleh: Pdt. Martinus Manek Nikan, M.Div

penolong yang sepadan

Penolong Yang Sepadan
A. Pendahuluan
Apakah wanita lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki, diciptakan semata-mata untuk menjadi penolong bagi mereka? Apakah lebih konsisten dengan teks Alkitab jika memandang laki-laki sebagai inisiator dan perempuan sebagai asisten laki-laki? Apakah ini yang akan menjadikan wanita pasangan yang sepadan dengan laki-laki. Dalam kisah Kejadian Allah menciptakan seorang wanita setelah Ia menciptakan laki-laki ini akan menghapus kesendirian dan status Adam yang Allah nilai sebagai “Tidak baik” dan negatif itu. Wanita itu akan menjadi “penolong” bagi laki-laki (Kejadian 2:18).
B. Latar-belakang Masalah
1.Rumah-tangga Kristen yang gagal dan masalah yang tidak terselesaikan.
Konflik dalam rumah-tangga pada dasarnya adalah sehat. Namun jika konflik itu tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, maka konflik justru menimbulkan frustasi. Jika dalam rumah-tangga tanpa ada selisih pendapat atau cekcok sama sekali merupakan rumah-tangga yang tidak realistis. Banyak suami-isteri yang lebih suka “melupakan” persoalan daripada “menyelesaikannya” secara tuntas, sehingga hal seperti ini akan membawa luka-luka “tetap peka” pada tempatnya, sehingga aspek-aspek kehidupan tersebut tidak dapat berfungsi dengan normal.
2. Isteri dijadikan budak/pembantu.
Praktik poligami terjadi sejak awal peradaban manusia dengan Lamekh (Kej.4:19) dan kemudian yang paling ekstrem adalah Raja Salomo (1Raj.11:3). Abraham sendiri kendati sebagai bapak orang beriman juga melakukan praktik itu (Kej.25:1). Praktik perkawinan demikian merupakan cermin lemahnya posisi wanita dalam kultur maskulin. Sistem masyarakat Israel yang tergambar dalam Perjanjian Lama adalah sistem patriarki, didalamnya pria berkuasa dan perempuan harus tunduk. Jika dilihat juga kehidupan keluarga, secara khusus keluarga Kristen seringkali terjadi ketidakseimbangan dalam perjalanannya, Kerapkali juga dijumpai dalam keluarga, isteri dijadikan sebagai budak/pembantu dalam keluarga. Suami memperlakukan isterinya bukan sebagai penolong yang sepadan melainkan sebagai budak/pembantu yang hanya melayani suami, dan melakukan tugas-pekerjaan di rumah.
3. Suami-isteri sama-sama bekerja.
Persoalan ekonomi keluarga harus dipenuhi secara mutlak. Ada yang berpendapat isteri tidak berkewajiban untuk kebutuhan ekonomi keluarga dan karena isteri hanya dirumah saja mengurus anak dan sebagainya. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa setuju saja karena bukan hanya suami saja yang dapat bekerja dan mencukupi kebutuhan keluarga, artinya saling mendukung diantaranya. Menurut Paulus isteri harus tunduk kepada suami (Ef.5:33). Maksudnya adalah isteri harus tunduk, termasuk apakah suami berhak untuk putuskan untuk bekerja atau tidak, hal ini masih menjadi polemik dalam rumah-tangga kristen. Menurut Harry Blaimiries: “Norma kehidupan pernikahan bukan lagi berupa suami yang bekerja dan isteri yang diam dirumah. Sekarang para isteri pergi keluar untuk bekerja.” Seperti di Asia dewasa ini makin banyak kaum wanita terlibat dalam mencari nafkah untuk menunjang kebutuhan keluarga. George Masnick dan Mary Jo Bane mengatakan, pada tahun 1990 lebih dari 85 persen orang Amerika, adalah pasangan yang keduanya bekerja (dual-worker couples).
MAKNA PENOLONG YANG SEPADAN
1. LATAR BELAKANG KITAB KEJADIAN
Dalam bahasa Ibrani kitab kejadian disebut beresyit (Inggris: Genesis), artinya:‘pada mulanya’, yaitu kata pembuka kitab tersebut. Kitab Kejadian berbicara tentang permulaan langit dan bumi, terang dan kegelapan, dosa, dsb. Kitab Kejadian amat penting untuk memahami keseluruhan Alkitab, karena berbicara tentang relasi, antara Allah dan alam, Allah dan manusia, manusia dan manusia, manusia dan alam, dan manusia dengan dirinya sendiri.
Kitab Kejadian bukanlah mitos, bukan juga “sejarah” dalam pengertian modern berupa laporan objektif oleh saksi mata. Kitab ini sebenarnya menyampaikan kebenaran teologis tentang peristiwa-peristiwa yang pada umumnya digambarkan dalam jenis sastra simbolis (dengan kata lain, penulis kitab kejadian memakai tradisi sastra semacam ini melukiskan kejadian-kejadian zaman purba yang unik. Kejadian-kejadian ini tidak memiliki kesejajaran dengan pengalaman manusia biasa terbatas oleh waktu sehingga hanya dapat dilukiskan dengan lambang-lambang. Masalah yang sama timbul pada saat membicarakan akhir zaman. Pengarang kitab Wahyu, misalnya memakai gaya apokaliptik yang aneh sehingga tidak mudah dipahami. Ia menciptakan dunia dengan firman-Nya saja dan unsur-unsur pun terjadilah. Karya-Nya baik, seimbang dan utuh. Meskipun manusia memberontak, Allah memperlunak hukuman-Nya dengan murah hati, mendukung serta memelihara mereka dengan anugerah dan kesabaran. Jelaslah bahwa penulis Alkitab itu diberi petunjuk oleh penyataan Allah kepada Israel mengenai hakikat dunia dan manusia serta dosa yang mengakibatkan terpisahnya manusia dari Allah dan sesamanya. Ia telah dibimbing Allah kepada pemahaman yang benar tentang asal-usul dunia dan mengungkapkannya dalam bahasa zamannya. Lagi pula penulis menyusun tradisi sastra zamannya untuk mengajarkan fakta-fakta teologis yang benar tentang sejarah awal manusia). Pasal-pasal ini menegaskan kebenaran yang mendasar: penciptaan segala sesuatu oleh Allah; campur tangan Allah yang khusus dalam penciptaan manusia pertama; kesatuan umat manusia; keadaan dunia dan manusia yang semula diciptakaan baik; masuknya dosa melalui ketidaktaatan pasangan manusia pertama; dosa merajalela setalah manusia itu jatuh ke dalam dosa. Semua fakta-fakta kebenaraan ini adalah fakta dan kepastiannya menjamin bahwa fakta-fakta itu benar-benar nyata. Kitab Kejadian dilihat dari segi manusiawi adalah kejatuhan manusia dan dari segi Ilahi Kejadian adalah kedaulatan Allah – menjadikan dan memilih.
Penulisnya tidak disebutkan dalam kitab ini. Akan tetapi, kesaksian lain dalam Alkitab menunjukkan bahwa Musa merupakan penulis seluruh Pentateukh (yaitu, kelima kitab PL pertama) dan oleh karenanya juga Kejadian (mis. 1Raj.2:3; 2Raj.14:6; Ezr.6:18; Neh.13:1; Dan 9:11-13; Mal. 4:4; Mrk. 12:26; Luk.16:29,31; Yoh.7:19-23; Kis.26:22; 1Kor.9:9; 2Kor.3:15). Demikian pula para penulis Yahudi kuno dan para bapa gereja semuanya menyatakan bahwa Musa menjadi penulis/penyusun Kejadian. Karena seluruh sejarah dalam Kejadian terjadi sebelum kehidupan Musa, peranannya dalam menulis Kejadian adalah menyusun, di bawah pengilhaman Roh Kudus, semua catatan lisan dan tulisan yang ada sejak Adam hingga wafatnya Yusuf yang sekarang menjadi isi Kejadian. Tema kitab kejadian adalah Permulaan.
2. PENOLONG YANG SEPADAN MENURUT ALKITAB
A. Perjanjian Lama
Dalam Kejadian 2:15 manusia mendapatkan tugas untuk mengusahakan dan memelihara taman eden. Tetapi dalam pekerjaan ini manusia tidak hanya seorang diri. Ia mendapatkan seorang sesama manusia dari Tuhan Allah. Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (ayat 18). Selanjutnya manusia harus memenuhi bumi dan menaklukkan bumi yaitu beranak-cucu dan bertambahlah banyak (Kej.1:28), Hawa harus menolong Adam untuk mengusahakan, memelihara taman eden, memenuhi dan menaklukkan bumi tersebut.
Amsal 31:10-31 menyatakan isteri yang bijaksana yang jauh berharga daripada permata. Isteri yang bijaksana adalah isteri yang memiliki kepandaian sorgawi dalam mengatur rumah-tangganya dengan baik, beribadat dan takut kepada Tuhan. Jadi, makna dari isteri yang cakap adalah isteri yang telah mengalami berbagai macam ujian, dan ternyata selalu berbuat hal-hal yang luhur, mulia dan baik. Karena isteri berfungsi sebagai penolong, maka dalam tulisan ini, isteri yang memiliki karakter mulia, luhur dan baik. Penolong sepadan adalah seorang isteri yang selalu atau sepanjang hidupnya, berbuat hal-hal yang mulia, luhur dan baik. Sepadan disini berarti cocok, sesuai/tepat, dalam arti, kekurangan-kekurangan dan kelebihan-kelebihannya sangat cocok untuk dipakai Tuhan bagi pembentukan karakter suami, agar sang suami ditolong dalam menyelesaikan tugasnya.
Menurut aturan yang normal kebanyakan laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan menikah, Tetapi tidak semua anak Tuhan dipimpin oleh-Nya melalui jalan yang normal ini. Pada hakikatnya, untuk tiap orang kristen yang sudah menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, tujuan utama kehidupannya di dunia ini adalah untuk melakukan kehendak Allah, bukan untuk menikah (bnd.Yoh.4:34). Bagi Yesus sendiri, melakukan kehendak Allah berarti tidak menikah selama hidupnya di bumi sebagai manusia darah daging. Tetapi ia merindukan hari pernikahan-Nya dengan mempelai perempuan-Nya (yaitu jemaat-Nya) kelak. Yeremia 16:1-9, disebutkan nabi Yeremia diperintahkan oleh Allah untuk tetap sendirian, namun ini yang dimaksud untuk menjadi tanda bahwa penghukuman Allah atas manusia sedemikian dekatnya sehingga tidak ada gunanya menikah. Lagipula, hidup yang lengkap adalah hidup yang mencapai kepenuhannya dengan persekutuan dengan sesama atau kelompok manusia.
Pada pembahasan ini tidak hanya relevan bagi para suami dan isteri, tetapi juga bagi setiap manusia yang memiliki identitas sebagai laki-laki atau perempuan. Memang Tuhan menciptakan manusia sebagai sexual beings (mahkluk seksual) namun tidak berarti manusia harus melakukan hubungan seks agar kita menjadi manusia yang seutuhnya.
B. Perjanjian Baru
Ada yang menganggap pernyataan Paulus dalam 1 Kor.7:1 bertentangan dengan Kej.2:18. Dalam Kej.2:18 LAI TB, TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."1 Kor.7:1 LAI TB, dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin. Pertanyaan jemaat Korintus yang Rasul Paulus jawab yaitu: “Salahkah jika seseorang menikah?” Jawaban ialah: “tidak” (ayat 1 dan 2). “Haruskah setiap orang menikah?” Tidak. Kelihatannya Kej.2:18 kontradiksi dengan 1Kor.7:1, namun kalau memahami konteks dan struktur kalimat dalam 1Kor.7:1 tidak akan melihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan. Maksud Paulus, perlu memahami apa yang ditulis diatas bukanlah pertanyaan tentang pernikahan pada umumnya, melainkan yang ditanyakan adalah masalah hubungan seksual. Tampaknya ada sebagian orang di Jemaat di Korintus memandang negatif hubungan seksual itu. Mereka kuatir bahwa ikatan rohani mereka dengan Tuhan akan tercemari dengan aktivitas "daging" seperti hubungan seks ini, bahkan dalam ikatan pernikahan. Jadi jelas maksud Paulus masih mengacu kepada pernyataan-pernyataan sebagian orang di Korintus ketika ia mengatakan "Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak menyentuh perempuan". Istilah "bersentuhan" disini adalah hubungan seksual (seperti dalam Kol.2:21). Tidak kawin itu baik jika keadaan memang mengizinkan atau jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, menghendaki demikian atau mampu melakukannya. Maksud Paulus ‘adalah baik’, merupakan suatu anjuran atau nasihat. Supaya jemaat Korintus dapat memahami pernikahan dengan benar dan jangan terjerumus kepada situasi terjadinya pasangan yang tidak sah, oleh kerena itu Paulus menegaskan memilih tidak kawin. Menurut Paulus, membujang bukanlah mengenai keadan baik dan bukan pula mengenai keadaan jahat dan janganlah orang yang menikah memandang dia orang yang hidup pada tingkat yang rendah serta janganlah menyangka bahwa orang yang tidak menikah tidak melakukan kewajibannya. Keadaan melajang/membujang memungkinkan seseorang melayani Tuhan dengan cara yang khusus, menyeluruh tanpa dibebani dengan urusan-urusan rumah tangga. Tetapi dalam hal ini, Paulus tidak mengatakan bahwa hidup melajang adalah lebih baik daripada menikah, dan ia juga tidak mengatakan bahwa dengan hidup melajang pelayanan seseorang kepada Tuhan akan lebih dapat diterima oleh Tuhan.
Pernyataan, "Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin" tidak selalu atau secara logis membawa kepada kesimpulan "Tidak baik bagi laki-laki untuk kawin/menikah." Maksud Paulus menyatakan kebaikan dari hidup tanpa menikah/selibat, tetapi ia tidak merendahkan pernikahan dan seks dalam pernikahan itu. Hal ini terlihat dalam ayat-ayat berikutnya, di mana ia dengan tegas menjelaskan pernyataan, "Adalah baik untuk tidak kawin" dan meninggikan tujuan pernikahan. Dalam 1 Kor.7:2-7, ia menyatakan satu dari tujuan yang baik ini, "Tetapi mengingat bahaya percabulan," secara normal manusia harus menikah. Keyakinan ini didasarkan pada pandangan Paulus tentang rancangan dan tatanan ciptaan, menurut Kej.1-2. Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan (Kej.1:26-27), satu untuk yang lainnya, untuk saling melengkapi. Kesendirian itu ''tidak baik"; Allah menciptakan perempuan "sepadan dengan dia" (Kej.2:18). Karena itulah laki-laki dan perempuan dipersatukan dalam perjanjian nikah dan menjadi "satu daging" (Kej.2:24). Paulus mengenali konteks yang diciptakan dan ditahbiskan secara ilahi untuk keintiman manusia dan pengungkapan gairah seksual ini. Dalam percabulan yang meluas (yaitu, seks di luar perjanjian nikah laki-laki-perempuan) dalam masyarakat Korintus dan bahkan dalam jemaat (1Kor.5-6), Paulus menegaskan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah pengungkapan yang sah dari dorongan yang diberikan Allah menuju persatuan fisiko seks dalam pernikahan tidak boleh ditolak. Saling menjauhi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama dan untuk sementara waktu (1Kor.7:5), bukan karena seks itu tidak berharga atau merugikan. Paulus menjelaskan selanjutnya supaya suami-isteri dapat berdoa karena ada sesuatu yang penting. Bagi Paulus, dijauhinya keintiman seksual dalam pernikahan untuk sementara waktu merupakan "kelonggaran, bukan perintah" (1Kor.7:6). Norma pernikahan adalah adanya hak suami/istri atas pasangannya dalam persatuan fisik.
Kelonggaran ini (sedikit waktu untuk tujuan berdoa 1Kor.7:5) nampaknya adalah untuk kepentingan jemaat Korintus, yang mungkm ingin menjauhkan diri dari kesenangan jasmani secara total. Paulus mengungkapkan bahwa hidup melajang bukanlah panggilan untuk semua orang (lihat ayat 7,17). Dorongan seksual adalah bagian alamiah bagi laki-laki dan perempuan. Bila seseorang tidak menikah, ada bahaya pencobaan untuk pencabulan, untuk itulah dikatakan dalam "baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri." sebagaimana Allah pernah mengatakan "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja." (Kej.2:18). 1Kor.1:1-7 disampaikan dengan maksud jauh dari menolak hubungan pernikahan dan hak-hak seksualnya, justru dalam perikop ini, Paulus memandang semuanya ini sebagai hal yang normal. Paulus juga pernah menulis kepada jemaat di Tesalonika : 1Tes.4:3; Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan. Dan orang yang sama ini menulis hal-hal yang begitu indah tentang pernikahan dalam: Ef.5:22-23; Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 1Kor.7:1 tidak dapat dikontradiksikan dengan Kej.2:18. Paulus ingin agar jemaat dan pelayan Tuhan dalam panggilan apapun yang mereka terima melakukan tugas mulia itu dalam bertanggung jawab. Paulus menyatakan kehidupan selibatnya, yang memberikan kebahagiaan baginya dan karena itu diharapkannya untuk orang lain, adalah karunia Allah (1Kor.7:7).
Dalam Matius 19:12 Yesus berbicara mengenai keadaan membujang yang lain lagi macamnya, yang juga dapat terjadi dalam kehidupan seorang kristen: “Ada orang yang tidak dapat kawin (orang kasim) karena ia memang terlahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian (yang membiarkan dirinya menjadi orang kasdim - orang kasdim baik: laki-laki dan perempuan) karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Yang disebut dengan orang “kasdim” (eunuch dalam bahasa Inggris) oleh Yesus itu adalah orang-orang yang tidak sanggup melakukan hubungan kelamin secara normal. Yesus menunjukkan bahwa ada tiga penyebab keadaan demikian. Ada yang memang dilahirkan dengan cacat itu, ada yang menjadi demikian karena dikebiri, dan ada yang menjadi demikian karena memutuskannya atas kemauan sendiri. Ada pun yang lain adalah melakukan “oleh karena Kerajaan Sorga’.
3.EKSEGESE KEJADIAN 2:18-25
A. Terjemahan Harfiah
Ayat 18: Dan Tuhan Allah berkata tidak menyenangkan (sesuatu hal yang tidak baik) seorang diri manusia itu lalu Dia membuat penolong (suatu bantuan) menurut sepadan.
Ayat 19: Dan Tuhan Allah menciptakan (membentuk) dari tanah (negeri) itu semua mahluk hidup negeri itu dan dengan setiap makhluk-makhluk terbang (unggas) surga (langit) itu dan Ia membawa masuk ke arah manusia itu bagaimana ia beri suatu nama dan setiap siapa ia memanggil (memberi suatu nama) manusia itu hidup suatu nama dia (dirinya sendiri) nantinya.
Ayat 20: Dan manusia itu memberikan sebuah nama-nama kepada semua (masing-masing) binatang itu kepada mahkluk (unggas) surga (langit) itu kepada semua masing-masing mahkluk hidup (komunitas) untuk menemukan itu dan kepada Adam (manusia) ia tidak menemukan penolong (suatu bantuan) menurut sepadan.
Ayat 21: Dan Tuhan Allah menyebabkan (membuat) tidur Adam (manusia) dan ia tidur dan Ia mengambil satu (salah satu) tulang rusuk untuk menutup daging kalian dibawah sebagai gantinya.
Ayat 22: Dan Tuhan Allah membangun dengan tulang rusuk itu ketika ia mengambil dari tulang Adam (manusia) itu kepada perempuan (isteri) dan membawa masuk kepada Adam (manusia) itu.
Ayat 23: Dan berkata Adam (manusia) sebuah kejadian itu tulang dari tulangku dan daging dari dagingku kepada ia dipanggil perempuan (isteri) karena dari manusia (oleh alasan suami) kepada ia mengambil ini.
Ayat 24: Atas mereka manusia (melepaskan suami) ia meninggalkan dengan bapaku (nenek moyangku) dan seorang ibu dan ia melekat dalam perempuannya (isterinya) dan mereka jadi kepada satu daging.
Ayat 25: Dan mereka berdua menjadi yang telanjang (telanjang yang baik) Adam (manusia itu) dan perempuan (isterinya) dan tidak mereka bersifat malu.
B. Pendahuluan
Perbedaan dalam konsep dan kaidah sastra antara Kejadian 1 dan 2 juga ditemukan dalam cara yang berbeda untuk mengungkapkan penciptaan. Keduanya menggunakan istilah umum asa ‘membuat’, tetapi Kejadian 1 menggunakan kata bara ‘menciptakan’, sebuah kata kerja yang hanya digunakan dengan Allah sebagai subjek dan tidak pernah dihubungkan dengan bahan yang digunakaan untuk menciptakan objek. Kejadian 2 memakai istilah yatsar ‘membentuk’, istilah teknis untuk kegiatan seorang penjunan yang membentuk tanah liat menjadi bentuk yang dikehendakinya. Kejadian 1 Allah menciptakan manusia dengan firman-Nya, dalam Kejadian 2 dengan perbuatan-Nya.
Setelah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, Allah Bapa menciptakan dan membentuk manusia menurut gambar dan rupa-Nya, agar ia berkuasa atas hewan di bumi, ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara. Dan setelah menciptakan manusia, Allah berfirman, ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’.
C. Tafsiran
Untuk menafsirkan Kejadian 2:18-25 struktur yang telah dibuat penafsir, yaitu: Sidney Greidanus membagi 5 bagian, yaitu: (1). Ayat 18. (2). Ayat 19-20. (3). Ayat 21-22. (4). Ayat 23. (5). Ayat 24-25.
Secara sederhana struktur Kejadian 2:18-25 dapat dibuat sebagai berikut:
Ayat 18 : Konflik ketika Adam sendirian
Ayat 19-20 : Ketagangan antara binatang dengan Adam sebagai mitranya
Ayat 21-22 : Keputusan Allah menciptakan perempuan
Ayat 23 : Hasil ciptaan dari tulang rusuk Adam
Ayat 24-25 : Kesatuan yang utuh
Ayat 18
Kata elohim (band.Kej.1:26), beberapa ahli berpendapat “Kita” adalah bentuk “pluralistis majestatis” (jamak untuk menyatakan suatu dalam suasana resmi). Hal itu berdasarkan kenyataan bahwa kata Allah dalam bahasa Ibrani elohim bentuknya jamak. Akan tetapi penggunaannya tunggal. Diandaikan bahwa karena Allah itu begitu agung dan kuasa. Bahwa keadaan Allah, tidak ada jenis kelamin; laki-laki atau perempuan atau tidak bentuk ganda sekaligus. Keaktipan Tuhan sangat jelas atas pernyataan kesendirian manusia itu dan mewujudkan seorang penolong yang sepadan.
Dalam ayat ini pembahasan kata AD*g>nnDalam Ibrani, ezer ditulis kebanyakan digunakan untuk menunjukkan nilai kemanusiaan lebih dari sekedar makna "pembantu". Kata ini mengandung arti "seperti pelayan bagi Tuhan". Tuhan memberi pujian kepada wanita melalui kata-kata ini. Kata-kata yang sama dipakai dalam Maz.115:9 : "Hai Israel, percayalah kepada TUHAN!--Dialah pertolongan mereka dan perisai mereka". Bentuk ini selalu digunakan untuk menjelaskan tentang seseorang yang membawa pertolongan nyata. Ketika orang Ibrani kuno berbicara tentang ini, orang Israel mendengar bentuk ini dan menggunakannnya untuk mendeskripsikan kaum Hawa. Kaum pria lalu terpengaruh dengan persepsi ini. Kaum pria lalu berpikir hal serupa (konsep pembantu dan bukan penolong) tentang kaum wanita. Mereka berpikir "menjadi pembantu atau budak" merupakan karunia yang Tuhan berikan pada wanita.
Freedman bahkan mengatakan kata kedua dalam ungkapan Ibrani yang ditemukan dalam ayat ini sebaiknya diartikan setara dengannya. Jika memang demikian, maka Allah menjadikan bagi laki-laki itu seorang perempuan yang sungguh setara dan sungguh sesuai dengannya. Dengan demikian, kesendirian manusia akan lenyap. Pola pikir yang menegaskan kesetaraan penuh ini berlanjut dalam Kejadian 2:23 waktu Adam berkata kepada Hawa: "Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. la akan dinarnai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Maksud ungkapan dari kalimat tulang dari tulangku adalah "sanak yang sangat dekat", "salah satu dari kami" atau maksudnya "kesetaraan kami". Perempuan itu tidak pernah dirnaksudkan sebagai pembantu atau "rekan penolong" bagi laki-laki itu. Istilah mate (rekan) terselip ke dalam bahasa Inggris karena istilah ini sedemikian dekatnya dengan istilah meet (tentu) dalam bahasa Inggris, yang berarti "cocok dengan " atau "sesuai dengan" laki-laki itu. Istilah tersebut berasal dari kalimat serupa dengan yang pemah saya ungkapkan yang berarti "setara dengan". Maka apa yang Allah maksudkan adalah untuk menjadikan suatu "kuasa" atau "kekuatan" bagi laki-laki yang dalam segala hal akan "sesuai dengan laki-laki" atau bahkan "rnenjadi setara baginya".
Perempuan diciptakan untuk melengkapi pria, sehingga keduanya dapat mewujudkan karya pemeliharaan Allah bagi dunia ini. Kehadiran perempuan dalam hubungannya dengan pria pada awal penciptaan disebutkan sebagai ezer kenegdo (Kejadian 2:18,20 “penolong yang sepadan”). Maka selayaknya penolong yang sepadan ini memiliki kekuatan dalam segi-segi tertentu agar fungsi menolongnya terealisasi. Bila dalam Kej.1:27 kodrat perempuan adalah sebagai gambar Allah yang sama derajatnya dengan laki-laki, sekarang sebagai penolong bukan kodratnya yang disinggung, melainkan perannya dalam ikatan suami-isteri.

Ayat 19-20

Kata benda hm'ªd"a]h'(i ha adamah artinya: tanah dan ~d"²a'h' ha adam artinya: Adam (manusia). Binatang di padang dan burung berasal dari bahan adamah (Kej.2:19 “tanah”). Dari adamah juga ha adam manusia dibuat (Kej.2:7). Terlihat jelas permainan kata antara ‘adam’ dan ‘adama’. Adam adalah mahkluk yang berasal dari tanah (mahkluk tanah). Alkitab ingin menegaskan bahwa sekalipun asal-usulnya sama-sama tanah, kodrat keduanya berbeda sama sekali. Dalam Kejadian 2:18-20 lima kali muncul kata “adam” atau “manusia itu” bersama-sama dengan kata “adama” yang menjadi asal-usul binatang dan burung. Binatang bukanlah gambar Allah seperti manusia. Maka otoritas kepenuhan diri manusia tidak akan pernah didapati dari hewan apa pun. Tuhan membawa binatang dan burung, yang tadinya sudah Ia ciptakan (sebelum menciptakan manusia), kepada Adam, supaya diberi nama. Tujuan Adam menamai semua binatang adalah untuk mencari penolong yang sepadan. 1) Ayat 19 dimulai dengan kata sambung “lalu” yang menunjukkan hubungan ayat 19 dengan 18. 2) Ayat 20 menyatakan “....tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia“. Hal inilah yang menunjukkan binatang bukanlah pasangan yang sesuai untuk laki-laki. Menurut F.L Baker: “Mula-mula Allah menjadikan binatang-binatang di padang dan burung-burung di udara. Memang binatang-binatang dan burung-burung ini lebih dekat kepada manusia, tetapi tidak sederajat dengan manusia”. Gordon J Wenham mengatakan: “Dua menjadi lebih baik darinya..... karena jika mereka jatuh satu keinginan mengangkat rekannya" (Pengkotbah 4:9-10; bnd.Amsal 31:10-31). Semua binatang dibawa dihadapannya, dan melihat masing-masing di dalam harapan yang akan membuat suatu rekan yang pantas untuk manusia itu. Digambarkan binatang-binatang itu berdua-dua dan manusia berkomentar, "Segalanya mempunyai mitranya tetapi 1 (Adam) tidak memiliki mitra." Lebih lanjut W S Lasor, dkk - keinginan berkawan: “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (ayat 18). Ia tidak diciptakan sebagai makhluk yang sama sekali tidak memerlukan orang lain, tetapi sebagai makhluk yang berpasangan (“laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”, Kej.1:27). Dengan memberi nama terhadap binatang-binatang, Adam melaksanakan perintahnya sebagai wakil Allah (Kej 2: 19). Dalam kurun waktu (masa penantian) pemberian nama-nama binatang itu dan pada akhirnya belum dijumpai penolongnya maka Yongky Karman mengatakan dampak dari masa penantian tersebut, yaitu: “Penting artinya rasa butuh akan pasangan yang sepadan muncul dulu dalam diri Adam sebelum pasangan itu hadir secara nyata/real”. Alasannya kalau pasangan itu langsung diberikan tanpa Adam merasa butuh, mudah sekali pada suatu hari dia mengeluh ihwal isterinya mengingat Hawa manusia terbatas yang mustahil memuaskan keinginannya. Bisa juga Adam menyesali kehadiran Hawa sebagai pasangan yang sebenarnya tak diinginkan namun terpaksa diterima karena tak ada pilihan lain. Pada suatu hari dalam kekesalannya Adam bisa melemparkan kesalahan kepada Tuhan sebagaimana terbukti nanti (Kej.3:12).
Menurut Perjanjian Lama manusia terdiri dari “daging” (basar) dan dari “jiwa yang hidup” (nefes, Yes.10:18), meskipun manusia merupakan “debu” (afar,Kej.2:7;3:19, Mzm.104:29) ia toh diberi “nafas hidup” (nesyama, Kej.2:7) dan “roh” Allah (ruakh, Ayub 27:3). Menurut Priestercodex, manusia boleh dianggap sebagai “gambaran” (tselem; septuaginta:eikon; Vulgata:imago) dan “rupa” Allah (demut; septuaginta:homoiosis; Vulgata: similitudo) Kejadian1:26a. Menurut Charles Darwin (1859) bahwa manusia berasal dari binatang. E.Brunner berpendapat bahwa manusia sama sekali berbeda dengan binatang, Hewan memiliki daya pikir tetapi tidak memiliki akal budi, memiliki kemampuan bermain akan tetapi tidak berseni, binatang juga berkawanan tetapi tidak mengenal persekutuan. Paling utama, binatang tidak memiliki hati nurani dan tidak mengenal Tuhan, perbedaan itu dapat dilihat bahwa manusia memiliki rasio, kebebasan dan daya cipta manusia serta manusia memiliki kasih. Adam menamai setiap binatang, itu berarti ia memberi nama setelah menyelidiki semua binatang dengan teliti. Hal itu menunjukkan bahwa pada waktu itu semua binatang taat kepada Adam, artinya Adam memiliki pengetahuan dan pengertian tentang semua binatang dan memiliki kuasa yang dapat mengatur mereka. Semua binatang diberinya nama sehingga teori Darwin mengatakan manusia berasal dari binatang tidak dapat diterima, karena tidak ada diantara binatang dapat disamakan dengan Adam yang sedemikian berhikmat. Itulah juga yang membedakan manusia dengan binatang. Sepadan berarti seimbang dalam jenisnya artinya manusia harus menjadi satu daging dengan manusia bukan dengan binatang. Lebih dari itu, seperti yang dikatakan diatas, Yahweh berbicara kepada manusia, tetapi Ia tidak menyapa binatang-binatang.
Istilah “sepadan” merupakan penjelasan dari kata “penolong,” yang berarti “sepertimu” (Ibrani; “neged”). Ini berarti bahwa istri memiliki status yang sama dengan pria, dalam naturnya, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:27). Maka, seorang istri tidak boleh dianggap seperti “binatang” (Kej. 2:20). Jadi, Alkitab tidak merendahkan perempuan (istri), tapi mempertegas panggilan dan fungsinya sebagai penolong pria (suami). Laki-laki dan perempuan diciptakan dalam perbedaan fisik. Tujuan perbedaan ini adalah untuk saling melengkapi. Dalam perbedaan ini memberikan hasil untuk kelangsungan kehidupan, ini sudah didalam rancangan Allah: Bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan, sudah bisa dibedakan. Dari perbedaan fisik tersebut laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang berbeda, Fungsi laki-laki : memberikan benih sementara fungsi perempuan: memelihara pertumbuhan. Secara umum fisik laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, ini melambangkan fungsinya sebagai pelindung. Perbedaannya terlihat dari psikologi perempuan dianggap sebagai mahkluk yang lemah dari laki-laki: Adanya asumsi perempuan lebih tidak mampu melakukan pekerjaan formal dibanding laki-laki, Perempuan dianggap lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan ditempatkan menjadi nomor dua setelah laki-laki, pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya. Perempuan adalah pihak paling rentan mengalami kekerasan: perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
Ayat 21-22
Tuhan Allah digambarkan sebagai salah satu tokoh dalam drama itu. Ia bagaikan seorang penjunan (2:7,19). Yang membentuk manusia dari tanah “menghembuskan nafas” kehidupan ke dalam lubang hidungnya dan “membangun” perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Lalu Tuhan membuat Adam tidur nyenyak, ketika ia tidur, Allah mengambil salah satu rusuk itu, dibangun-Nyalah Hawa. Hal ini membuat kita memahami bahwa laki-laki dan perempuan satu tubuh, satu daging, dan satu darah saja. Apa yang kemudian Tuhan Allah lakukan, Dia tidak memberikan kepada Adam seekor binatang untuk menjadi pendampingnya yang sepadan, tidak juga menciptakan Adam kedua atau pria lainnya untuk menjadi pendamping Adam. Dan juga tidak menciptakan dua, tiga atau lebih wanita untuk pendamping Adam, tetapi Ia menciptakan hanya Hawa (perempuan pertama) untuk menjadi pendamping Adam. Hawa adalah pasangan yang sepadan dengan Adam: seorang pria dan seorang wanita. Kata kerja •rc,YIw: wa yitser bentuk qal waw consec imperfect 3 person masculine singular dari rcy yatsar, artinya: to form (membentuk), create (menciptakan, menimbulkan, membuat). Bahwa Tuhan membentuk baik binatang dan manusia itu dari produk yang sama. Menurut Dianne, dkk: Walaupun manusia dan binatang sama-sama makhluk hidup, namun rupanya binatang sebagai penolong yang pertama tidak bisa menjadi “penolong” yang sepadan. Sehingga Yahwe berusaha membentuk penolong yang sepadan dan pada kali yang kedua, Ia membentuk seorang perempuan dari sebuah tulang rusuk “manusia”, yang dibuat “tidur nyenyak”, supaya tidak ada yang menyaksikan karya penciptaan itu. Karya penciptaan tetap merupakan suatu misteri Ilahi.
Ternyata pergaulan dengan binatang tidak dijumpai terhadap kesepadanan. Menurut Dianne Bergant, dkk: “Usaha manusia saja gagal tanpa pertolongan Tuhan dalam memilih/menentukan pasangan dan syarat-syarat Tuhan berbeda dengan manusia dalam menentukan pasangan”. Tuhan sudah menetapkan isteri sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya. Ini harus dipatuhi dan dijalankan, bila dilanggar akan berdampak buruk. Akhirnya banyak keluarga menghadapi masalah dalam rumah-tangga hingga kepada perceraian. Keberadaan keluarga (suami-isteri) di atas muka bumi ini tidak lepas dari campur tangan Allah. Allah sendirilah yang mengambil inisiatif akan adanya keluarga. Dimulai ketika Allah mengambil satu dari tulang rusuk Adam dan membentuknya menjadi seorang perempuan dan diberikan-Nya kepada manusia itu untuk menjadi isterinya - Kejadian 2:22 "Dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu diberikan-Nya kepada manusia itu." Saat itulah tercipta suatu lembaga yaitu keluarga. Lembaga inilah yang melahirkan generasi demi generasi yang terus berkelanjutan dan bertambah banyak, menyebar dan memenuhi bumi yang diciptakan Tuhan.
Ayat 23

Kata benda ~c,[, etsem common feminine singular absolute, artinya: Bone (tulang), ditujukkan kepada perempuan (isterinya) sebab ia diambil dari tulang Adam dan Kata benda rf'B' basar common masculine singular absolute, artinya: Flesh (daging) menunjuk pada Adam. Meskipun ada kesamaan bahan ciptaan dengan binatang dari tanah, tidak menunjukkan bahwa perempuan itu berbeda, walaupun sepertinya tidak sama. Karena Adam diciptakan dari tanah, berarti Hawa juga. Menurut D.Guthrie,dkk: “Kesamaan tekanan suara dari is dan isah (laki-laki dan perempuan) memantulkan penafsiran nama asali perempuan sebagai suatu bentuk yang diturunkan, dan karenanya ‘semacam dengan’ laki-laki (bnd ayat 18b,20). Dan manusia ini tunggal (“dia”) sekaligus jamak (“mereka”). Kemanusiaan yang satu hadir dalam bentuk pasangan laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki saja, bukan perempuan saja. Dengan dijadikannya laki-laki dan perempuan sejak awal, jelaslah bahwa perbedaan jender bukan untuk saling dipertentangkan, melainkan sebagai pembeda identitas seksual dalam rangka jalan hidup manusia untuk menikah.
Kata kerja bana untuk menggambarkan Allah seperti arsitek yang merancang dan membangun. Dalam Perjanjian Lama, sering dipakai dalam konteks membuat sesuatu yang keras seperti kota, menara, mezbah, atau benteng. Sekarang kata bana dipakai bukan digambarkan seperti perempuan sebagai makhluk yang lemah gemulai. Perempuan juga makhluk yang kuat. Ia terbukti lebih memiliki daya tahan baik secara pisik maupun mental, perempuan juga lebih tahan stres, lebih cepat menuntaskan marah, lebih mudah mengombinasikan emosi dengan pikiran objektik, dan secara keseluruhan lebih sabar. Perempuan itu menjadi ibu semua yang hidup (Kej 3:20). Dibangunnya perempuan dari tulang rusuk Adam, Menurut Yongky Karman: “sikap yang wajar dalam pergaulan antar jenis kelamin adalah membuka diri dengan lawan jenis sambil melihat kemungkinan yang ada, sikap yang pasif yang dibuat-buat atau menutup diri, bukan sikap yang baik. Fakta bahwa Tuhan sendiri yang menghantarkan jodoh kepada Adam tanpa usahanya. Sekalipun laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah tidak berarti Allah sendiri berjender maskulin atau feminin dan lebih lagi tidak berjender ganda. Ayat ini Cuma hendak menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama penyandang gambar Allah namun tidak menyatakan terbalik bahwa Sang Pencipta mirip makhluk ciptaan-Nya dalam hal jender. Allah tampil untuk pertama kalinya diatas panggung sejarah manusia, peran-Nya adalah sebagai seorang “pengantara” yang mempertemukan seorang laki-laki dan perempuan. Hawa dihadapkan kepada Adam itu, sehingga ia dituntun oleh Tuhan sendiri, tak ubahnya seperti seorang ayah di zaman modern menggandeng putrinya yang menjadi pengantin menuju altarnya disebuah gedung gereja.

Kalimat manusia itu mengatakan, “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku,.....”. Artinya keluarga itu ada dalam rancangan Allah akan melahirkan satu kesatuan yang sempurna. Oleh sebab di dalam keluarga seperti ini tidak akan terjadi saling melukai atau menghancurkan. Oleh sebab itu, jika menyakiti pasangan, hal itu berarti menyakiti diri sendiri. Karena pasangan suami isteri tidak lagi dua tetapi menjadi satu. Menjadi satu bukan berarti menghilangkan/mengabaikan perbedaan antara suami dan isteri. Perbedaan tetap ada. Perbedaan karakter, pola pikir, latar belakang, akan tetap ada. Justru di dalam perbedaan itulah saling melengkapi, saling membangun dan menguatkan dan menolong. Kemudian kedekatan itu membuat keluarga saling menghargai dan tidak mau melukai pasangannya.
Ayat 24-25
Dalam Kejadian 2:24 dikatakan :"sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging". Ayat ini menjelaskan moralitas suami-isteri, yaitu kebenaran tentang kesatuan seorang suami dengan seorang isteri. Monogami berdasarkan peraturan penciptaan Allah (Mal.2:15). Disini jelas ditekankan hakekat suami-isteri, ketika seorang laki dan seorang perempuan mengambil keputusan untuk menikah, maka mereka harus siap meninggalkan keluarga mereka masing-masing dan membentuk suatu keluarga yang baru. Semua keluarga; ayah, ibu dan saudara-saudari pengantin masing-masing harus menyadari betul hal ini, sehingga tidak ada keinginan untuk mencampuri urusan keluarga anak dan saudaranya tersebut. Namun harus juga dipahami bahwa yang dimaksud "meninggalkan" bukan berarti "memutuskan" hubungan keluarga. Bagaimanapun hubungan keluarga dengan orang tua dan saudara haruslah tetap terjalin dengan baik sebagaimana mestinya. Karna dapat dikatakan bahwa keluarga yang baru terbentuk itu adalah merupakan bagian dari satu keluarga besar dari pihak isteri dan bagian dari satu keluarga besar dari pihak suami. Hanya saja keluarga yang baru terbentuk itu adalah keluarga yang berdiri sendiri dalam urusan keluarga itu sendiri, tidak dapat dicampuri oleh orang-orang dari keluarga besarnya. Lain hal kalau sangat dibutuhkan untuk kasus-kasus tertentu misalnya terjadinya suatu persoalan suami-isteri yang mengarah pada perpecahan keluarga itu, maka dari pihak keluarga besar wajib memberi masukan dan arahan demi keutuhan keluarga itu.
Kata kerja vyaiê-bz"[]y:¥ ya’azab is qal imperfect 3 person masculine singular dari bz[ azab artinya: to leave; loose (meninggalkan, membiarkan, menyerahkan). Menurut Dianne Bergant,dkk: cerita ini mengemukakan mengapa laki-laki dan perempuan saling tertarik secara seksual dan menikah. “Meninggalkan” dan “mengikat” adalah istilah-istilah dalam perjanjian dan mengisyaratkan bahwa pernikahan disini dilihat sebagai hubungan yang bersifat perjanjian. Sebab laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya dan membentuk satu keluarga baru. Kata “meninggalkan” (Yer.1:16; 2:13, 17, 19:5:7; 16:11; 17:13; 19:4; 22:9) dan “bersatu” (Ul.4:4; 10:20; 11:22; 12:4; 30:20) dipakai dalam konteks perjanjian antara bangsa Israel dan TUHAN. Hal ini mengindikasikan bahwa pernikahan merupakan sebuah perjanjian yang sifatnya sangat mengikat. Suami harus meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu (Kej 2:25). Bahwa laki-laki dan perempuan telanjang dan tidak merasa malu lebih sekedar suatu pengamatan bahwa mereka tidak berpakaian. Seperti akan jelas nanti, ketelanjangan mereka menjadi lambang hubungan mereka dengan Allah. Sampai saat itu, hubungan dengan Allah masih utuh, maka ketelanjangan tidak menyebabkan rasa malu. Hanya ketika hubungan itu retak, maka ketelanjangan mereka menjadi sesuatu yang memalukan. Menurut F.L Baker: “Hubungan antara manusia dan sesamanya manusia masih murni, seperti hubungan antara manusia dan Allah. Apabila hubungan yang kedua rusak, maka busuklah juga hubungan antara manusia dan manusia”. Setelah makan buah terlarang, pasangan mengenali ketelanjangan mereka, mengambil daun buah ara dan bersembunyi dan berdiam ketika mereka mendengar Allah (3:7-11).
4. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Istilah “penolong” (Ibrani: “ezer”) tidak berarti bahwa seorang istri memiliki status lebih tinggi dari seorang pria. Penolong berarti orang yang “mendukung” atau “men-support.” Men-support dalam hal apa? Dalam konteks kejadian, Hawa men-support Adam dalam tugasnya memelihara dan mengusahakan taman Eden. Dari pengertian ini, maka seorang istri adalah seseorang yang men-support dan menolong suami dalam tugas-tugasnya sebagai kepala rumah tangga, mungkin juga dalam pekerjaan. Men-support bukan berarti “memerintah” tetapi memberikan kontribusi dan tetap menghormati kepemimpinan sang suami (Ams. 31:10-31).
Tuhan menetapkan manusia, laki-laki dan perempuan menjadi pasangan yang utuh (monogami bukan poligami) dalam pernikahan. Menurut aturan normal kebanyakan laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan menikah. Tetapi tidak semua anak Tuhan dipimpin oleh-Nya melalui jalan normal ini. Pada hakikatnya untuk tiap orang Kristen sudah menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, tujuan utama kehidupan di dunia ini adalah untuk melakukan kehendak Allah, bukan untuk menikah (band.Yoh.4:34). Bagi Yesus sendiri melakukan kehendak Allah berarti tidak menikah selama hidupnya dibumi sebagai manusia darah daging. Tetapi ia merindukan hari pernikahan-Nya dengan mempelai perempuan-Nya (yaitu jemaaat-Nya) kelak.
Tuhan Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia (Kej.2:18,20). Perempuan diciptakan sepadan dengan laki-laki. Kata “sepadan” dijelaskan lebih jauh, yaitu: penolong, bantuan (a helper), serekan (teman imbangan), setara dengannya, sepertimu, kesesuaian/kesamaan (sama seperti gambar dan kemuliaan Allah penolong yang tepat baginya). Penolong yang dimaksud bukan sebagai budak/pembantu melainkan sebagai permaisurinya. “Penolong”, tidak berarti “subordinate/seorang bawahan”, karena kata Ibrani sama seorang dipakai Tuhan sebagai penolong Israel. Kata sepadan tidak dijumpai dari binatang karena sudah berpasangan ketika Adam menamainya, binatang bukanlah gambar Allah seperti manusia. Maka otoritas kepenuhan diri manusia tidak akan pernah didapati dari hewan apa pun. Penolong sepadan adalah seorang isteri yang selalu atau sepanjang hidupnya, berbuat hal-hal yang mulia, luhur dan baik. Sepadan disini berarti cocok, sesuai/tepat, dalam arti, kekurangan-kekurangan dan kelebihan-kelebihannya sangat cocok untuk dipakai Tuhan bagi pembentukan karakter suami, agar sang suami ditolong dalam menyelesaikan tugasnya
Persoalan pernikahan terjadi ketika pernikahan dalam bentuknya poligami, maksudnya pasangan yang tidak sah (disamping pasangan yang sah) tidak diperkenankan. Oleh sebab itu rumah-tangga Kristen adalah pasangan monogami, antara laki-laki dan perempuan. Karena poligami, banyak masalah yang timbul melaluinya. Persoalan dalam rumah-tangga sekecil apapun haruslah diatasi, sebab darinya akan muncul masalah lebih besar lagi akan melanda rumah-tangga itu. Sehingga komunikasi adalah solusi terbaik, semakin sering terjadi komunikasi yang terbuka, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi sehingga masalah-masalah yang seharusnya terjadi dapat teratasi dengan sendirinya.
Dengan melihat pengertian kata sepadan, jelas bahwa isteri bukanlah budak atau pembantu. Seharusnya suami tidaklah memperlakukan isteri demikian oleh karena perempuan diciptakan bukan untuk berada dibawahnya (subordinate-seorang bawahan). Isteri bukan hanya melayani suami dirumah saja untuk melakukan apa yang diperlukan suami. Isteri diambil dari tulang rusuk laki-laki sehingga perempuan menjadi penolong bukan pembantu, tetapi penolong untuk melaksanakan perintah Allah yaitu: memelihara taman eden dan beranak-cucu. Untuk perintah Allah tersebut sangat dibutuhkan penolong untuk Adam.
Untuk menjalankan tugas dan kewajiban dalam rumah-tangga diperlukan kerjasama, baik dalam mengurus rumah-tangga itu sendiri maupun dalam mencukupi kebutuhan ekonomi rumah-tangga. Selayaknya laki-laki sebagai kepala/pemimpin rumah-tangga memenuhi kebutuhan rumah-tangganya selanjutnya dalam memenuhi kebutuhan tersebut, tidaklah hanya laki-laki saja, perempuan pun dapat menolong memenuhi kebutuhan itu. Kesepakatan terjadi antara suami dan isteri, suami pun berhak mengambil keputusan, apakah isteri harus bekerja atau tidak, oleh karena suami adalah kepala dalam rumah-tangganya. Penolong sepadan, bukan saja menundukkan diri dan mendukung suami dalam karier, usaha dan pelayanan, tetapi ia sendiri memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan uang (Amsal 31:16,18,24). Mungkin bagi seorang perempuan, bekerja dan menghasilkan uang tidak begitu sulit. Tetapi bagi seorang perempuan yang terfokus pada rumahnya (tidak mengabaikan pekerjaan rumah tangganya), dan mendukung kepemimpinan suami, serta memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang, tentu tidaklah mudah. Tetapi inilah yang dilakukan penolong sepadan. Itu sebabnya tertulis, "...biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang" (ayat 31).
B. Impilakasi
1. Upacara peneguhan perkawinan di depan umum dan dengan khidmat telah ditetapkan oleh orang-orang Kristen agar nikah yang sejati dan sah lebih dihormati dan dijunjung tinggi, dan agar antara kedua belah pihak tidak terjadi penipuan dan pendayaan, tetapi segala sesuatu berlangsung dengan jujur dan tulus ikhlas, dan agar gereja berdoa memohon damai sejahtera bagi pengantin. Pernikahan yang sah ditegaskan digereja dan mendapat pengakuan dari pemerintah.
2. Pernikahan Kristen hanya terjadi kepada pasangan suami dan isteri (monogami bukan poligami). Tujuan pernikahan adalah tolong menolong (penolong yang sepadan), artinya adalah penggabungan suami dan isteri menjadi satu kehidupan. Dengan sendirinya hal ini berarti monogami. (beristeri satu orang).
3. Setiap orang dicipta dengan kebutuhan berelasi intim dengan sesama. Oleh karenanya diluar relasi dengan Allah intimasi pernikahan adalah sesuatu yang mustahil. Pernikahan yang intim harus bersifat trialogis, yang menghadirkan Tuhan sebagai pusat komunikasi suami-isteri. Komukiasi yang sehat dan terbuka dalam rumah-tangga sangat diperlukan didalamnya karena banyak masalah teratasi dengan baik.
4. Isteri adalah penolong dalam rumah-tangga bukan sebagai pembantu atau budak. Selanjutnya isteri bukan pada status dibawah atau pun diatas laki-laki dalam rumah-tangga tetapi diambil dari tulang rusuk sebagai penolong laki-laki untuk bersama-sama melakukan perintah Allah dan beranak-cucu serta memuliakan Allah
5. Suami adalah kepala/pemimpin dalam rumah-tangga pengambil keputusan, termasuk memberikan keputusan isteri apakah boleh bekerja atau tidak.
6. Menikah adalah jalan hidup yang umum dan tidak menikah adalah bukan jalan hidup yang umum. Karena itu, keputusan untuk tidak menikah seumur hidup haruslah lahir dari pertimbangan yang matang dan tidak terburu-buru. Membujang/selibat tidaklah keputusan yang salah, tetapi keputusan yang sudah dipertimbangkan sedemikian, untuk lebih dapat berkonsentrasi penuh melayani Tuhan.
7. Tujuan pernikahan adalah melaksanakan perintah Allah yaitu beranak-cucu/bertambah banyak, bersatu dalam kesatuan yang harmonis dan mempermuliakan Allah.
8. Rumah-tangga yang baru adalah rumah-tangga yang sudah dapat dikatakan berdiri sendiri (dalam pengertian sudah menjadi keputusan rumah-tangga yang baru untuk menentukan arah rumah-tangganya, tetapi tidak menghilangkan kesatuan dalam rumah-tangga yang semula).






Daftar Pustaka
Yune Sun Park, Tafsir Kitab Kejadian, A Commentary on Genesis,(Malang,YPII,1968).
Walter C Kaiser,Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, (Saat, 2003).
Sutjipto Subeno,Indahnya Pernikahan Kristen, Sebuah Pengajaran Alkitab, (Surabaya,Momentum, 2008).
Yakub Susabda, Marriage Enrichment, Pembinaan Keluarga Kristen,(Bandung: Mitra Pustaka, 2004).
Julianto Simanjuntak, Surat Ijin Menikah, (Jakarta:Institut Konseling, 2006).
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta:BPK, 2009).
Harry Blaimires, The Post Christian Mind, Pemikiran Pasca-Kristen, (Surabaya: Momentum, 2000).
Elisabeth Elliot, Let Me Be A Woman, (Penerbit: Tyndale House Publishers, 1976). Heuken, Persiapan Perkawinan, (Yogyakarta:kanasius).
Julianto Simanjuntak, 9 Masalah Utama Remaja, (Jakarta: Yayasan Peduli Konseling Indonesia/YAPKI).
Rita, Atkinson dkk, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993).
W.S Lasor,dkk, Pengantar Perjanjian Lama Taurat dan Sejarah, (Jakarta: BPK GM,1982).
J.Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 1, (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,2004).
F.L Baker, Sejarah Kerajaan Allah 1 Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK GM, 2007).
Stephen Tong, Membesarkan Anak Dalam Tuhan, (Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia,1991).
Waldron, Jim E., Is There A Universal Code Of Ethics?, Print India A-38/2, Mayapuri, Phase I, New Delhi-110064, 2001.
Derek Prince, Jodoh Pilihan Tuhan, Judul asli: God is a Matchmaker, (USA: Derek Prince Ministeri-International,1980).
J.Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus I, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,2003).
Sidney Greidanus, Preaching Christ From Genesis, Foundations For Expositoris Sermon, (Cambridge, William B Eerdmans Publishing Company, 2007).
Dianne Bergant,dkk, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia Kanasius, 2002).
Gordon J. Wenham, Word Biblical Commentary Volume 1, Genesis 1-15, (Nelson Reference And Electronic,1798).
D.Guthrie,dkk, Tafsir Alkitab Masa Kini I Kejadian – Ester, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,1976).
R.David Freedman, "Woman, A Power Equel to a Man", Biblical Archeology Review 9 [1983]:56-58. Klooster, Fred H., Metode Penyelamatan Sesuai Dengan Alkitab, (Malang: Gandum Mas.1996). Theol.Dieter Becker, Pedoman Dogmatika Suatu Kompedium Singkat, (Jakarta: BPK GM, 1996).
Tata Ibadah Calvin,Th.van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, (Jakarta: BPK GM,2001).
Chong Kwong Tek Dan Tn. & Chua Wee Hean, Kekasihku Setelah Pernikahan, (Bandung, Lembaga Literatur Babtis, 1984).
Clyde M. Narramore, Liku-Liku Problema Rumah Tangga, (Bandung,Yayasan Kalam Hidup, 1985).




Sumber Website:
http://www.sarapanpagi.org/bible-tidak- ... .html#p1246. http://www.sabda.org/sabdaweb/biblical/Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia. http://griimelbourne.org/node/63 http://www.gkri-exodus.org/page.php?XSER-Penolong-Yang-Sepadan http://juli2005.multiply.com/journal/item/58. http://senjatarohani.wordpress.com/ http://www.gsjagrogol.org/index.php/artikel/warta/148-istri-penolong-yang-sepadan-kejadian-218-25 http://mimbarbinaalumni.blogspot.com/2009/10/famliy-bgn-i-rancangan-allah-bagi.html

ISTILAH-ISTILAH
 Patriarch: (Yunani: pater-bapa + arkein-memulai) artinya: bapa leluhur.
 Patrilinear: (L: pater-ayah + linea-garis) patrilinear: menentukan garis keturunan melalui ayah.
 Polygamy: (Yunani: poly-beberapa + gamos- nikah) polygamy: pernikahan dimana yang seorang dapat memiliki beberapa patner.
 Monogamy: (Yunani:monos-satu + gamos-nikah) monogamy: pernikahan dimana seseorang dapat memiliki satu patner saja.
 Monogeny: (L: Mono-satu + genus-keturunan) monogeny: kepercayaan bahwa seluruh kaum manusia merupakan satu keturunan dari satu pasangan, yaitu Adam dan Hawa.
 Matrilinear: (L: mater-ibu + linea-garis) matrilinear: menentukan garis keturunan melalui ibu. Garis keturunan menurut ibu atau sistem kekeluargaan berdasarkan hubungan darah denga ibu.
 Uterinesiblings: yang dianggap benar-banar saudara kandung adalah anak-anak dari satu ibu bukan dari yang lain ibu sekalipun sebapak.
 Endogami: perkawinan diantara anak-anak seayah bukan seibu (contoh: Abraham). Abraham dan Sara yang se-ayah (Terah) namun tidak seibu sehingga keduanya boleh menikah (Kej.11:27-28), (Kej.12:10-20) pengakuan kepada Firaun. Abimelekh (Kej.20) terungkap sara adalah saudara kandung menurut garis keturunan ayah dan dalam hal itu ia tidak berdusta (Kej.20:12)
 Endogamy: pernikahan yang terbatas pada anggota-anggota sekelompok atau sesuku menurut penentuan adat.
 Incest: perkawinan diantara saudara kandung.




PENOLONG YANG SEPADAN
(SUATU STUDI EKSEGESE)
Kejadian 2:18-25
I. LATAR-BELAKANG MASALAH
A. Pendahuluan
B. Latar-Belakang Masalah
1. Rumah-Tangga Kristen Yang Gagal dan Masalah-masalah Yang Tidak Terselesaikan
2. Isteri Dijadikan Budak/Pembantu.
3. Suami-Isteri Sama-sama Bekerja.
II. MAKNA PENOLONG YANG SEPADAN
1. Penulis dan Latar Belakang Kitab Kejadian.
2. Penolong Yang Sepadan Menurut Alkitab
3. Eksegese Kejadian 2:18-25.
4. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
ISTILAH-ISTILAH










Penolong Yang Sepadan
Suatu Studi Eksegese
(Kejadian 2:18-25)









KARYA TULIS
Diususun oleh: Alpon Marulam Sihite
Sekolah Tinggi Theologi Injili Arastamar (SETIA)
Program Master Divinitas (M.Div)
Kerjasama GZD-Belanda