ORANG KRISTEN DAN KERUSAKAN LINGKUGAN HIDUP
PENDAHULUAN
Masalah kerusakan alam atau lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditimbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga setiap orang. Dengan mudah dan sistematis setiap orang dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat dan sistematis setiap orang dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut, dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam alam atau lingkungan hidup. Yang menjadi masalah adalah bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut belum terjadi dalam hal pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup, seolah-olah perawatan dan pelestarian bukan tanggung jawab manusia.
Pengetahuan dan pngenalan akan kerusakan lingkungan hidup saja tidak cukup untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan hidup. Dalam menghadapi masalah kerusakan lingkungan hidup dewasa ini, kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan juga kekuatan ekonomi, tidak lagi memadai untuk memampukan manusia membendung kerusakan lingkungan. Manusia harus kembali ke kedalaman dirinya, yaitu hati nurani, nilai-nilai kemanusiaan dan Penciptanya.[1]
I. LATAR BELAKANG MASALAH DAN TUJUAN PENULISAN
Di dalam sejarah peradaban manusia, terdapat tiga revolusi yang telah mengubah pola kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang produksi, distribusi, maupun konsumsi. Revolusi yang pertama adalah Revolusi Agraria pada masa prasejarah, yang kedua adalah Revolusi Industri pada abad ke-18, dan yang ketiga adalah revolusi teknologi informatika dan komunikasi pada abad ke-20.[2]
Revolusi Agraria adalah berubahnya metode pencarian makanan dan pekerjaan yang dulunya pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani dan penggarap kebun atau ladang. Revolusi ini memungkinkan manusia untuk memproduksi makanan lebih banyak dari yang dibutuhkan, sehingga terjadi surplus. Dari sana berkembanglah perdagangan dan pemukiman yang lebih besar.
Revolusi Industri ditandai dengan proses otomatisasi produksi, terutama tenaga kerja manusia digantikan dengan mesin yang memerlukan bahan bakar minyak dalam jumlah yang banyak, sehingga membutuhkan lebih banyak penambangan minyak bumi dan juga menimbulkan dampak polusi yang sangat hebat.[3]
Penemuan cara penyulingan minyak menjawab kebutuhan tersebut. Namun penggunaan minyak bumi secara luas, terutama sejak Perang Dunia II, baik pada kendaraan bermotor maupun pabrik-pabrik, telah menghasilkan polusi yang luar biasa besarnya sebagai timbal balik dari segala fasilitas yang dapat dinikmati oleh manusia saat ini.[4] Revolusi di bidang teknologi dan informasi ditandai dengan pengembangan chip silikon dan mikro prosesor yang luar biasa rakusnya mlahap bahan bakar. Chip silikon dan mikro prosesor yang digunakan dalam pengembangan teknologi informatika dan komunikasi tersebut adalah sebenarnya biang keladi krisis energi yang menimpa dunia beberapa waktu yang lalu.[5] Walaupun demikian, masih ada nilai positif dari pengembangan teknologi informatika dan komunikasi kalau dikendalikan dengan baik.
Di Indonesia secara umum dan di Provinsi Papua secara khusus, selain tiga revolusi besar di atas yang telah mengubah pola kehidupan masyarakat sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan, ada juga penyebab lain seperti kerusakan dan penyusutan hutan karena penggunaannya untuk pembangunan pemukiman dan jalan. Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Marten Koyoi bahwa “sejak pemekaran kabupaten dan provinsi tahun 2000, hutan di Papua menyusut dari 31,5 juta hektar menjadi 23 juta hektar pada tahun 2009”.[6] Dengan demikian maka dalam jangka waktu 9 tahun hutan di Papua telah mengalami penyusutan 8,5 juta hektar. Hal senada juga diungkapkan oleh Regional Manager Forest Governance Integrity Programme Asia Pasifik kepada Tranparency International Indonesia, Agustinus Taufik bahwa “hutan Papua merupakan hutan tropis yang menjadi benteng hayati terakhir bagi paru-paru dunia. Namun wilayah dan kawasan yang seharusnya dilindungi itu sejak beberapa tahun yang lalu justru mendapat tekanan berupa perambahan untuk pertanian, pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan tak jarang illegal logging.”[7]
Ada dua alasan utama penulisan topik ini yaitu alasan historis dan alasan teologis.
Alasan historis penulisan topik ini adalah fakta sejarah yang mencatat bahwa pada tahun 1977, PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di wilayah kabupaten Mimika, Provinsi Papua telah membunuh 700 warga asli yaitu suku Amungme, dan yang lainnya dipaksa untuk meninggalkan tempat itu dan dimukimkan di tempat lain tanpa ganti rugi apa pun selama bertahun-tahun.[8] Sampai saat ini masyarakat suku Amungme selaku pemilik hak ulayat atas kawasan tambang PT. Freeport Inonesia masih hidup dalam ketertinggalan. Bahkan dampak kerusakan lingkungan akan tetap dirasakaan oleh masyarakat setempat pasca berakhirnya pengoperasian perusahaan tersebut pada suatu saat nanti, karena kemungkinan besar perusahaan itu akan meninggalkan lubang tambang, air asam tambang, dan limbah tailing yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, yang mendatangkan persoalan baru bagi masyarakat setempat.
Alasan teologis penulisan topik ini adalah karena adanya tuduhan terhadap kekristenan seperti yang dikemukakan oleh Lynn White, Jr. dalam risalah singkatnya, “The Historical Roots of Our Ecological Crisis (Akar-akar sejarah dari krisis ekologis kita) yang menyatakan bahwa, “Kekristenan adalah agama yang paling antroposentris yang bahkan telah dilihat dunia…. Kekristenan, dibandingkan mutlak dengan paganisme kuno dan agama-agama Asia, bersikeras bahwa adalah kehendak Allah agar manusia memanfaatkan alam untuk tujuan-tujuannya yang tepat.”[9] Eksploitasi ini berasal dari perintah di dalam Kejadian 1:28 yaitu untuk “menaklukkan” bumi dan “berkuasa” atas bumi.
Melalui tulisan ini, penulis memberikan penjelasan atas beberapa pertanyaan diantaranya: Apa pandangan umum tentang lingkungan hidup? Apa pandangan orang Kristen tentang lingkungan hidup? Apa dasar tanggung jawab orang kristen terhadap kerusakan lingkungan hidup? Apakah orang Kristen bersalah jika lingkungan hidup rusak? Apa bentuk tanggung jawab orang Kristen terhadap kerusakan lingkungan hidup? Kiranya karya tulis ini menolong pembaca untuk menyadari bahwa dari awal penciptaan, Tuhan telah memanggil manusia untuk mengelola dan memelihara alam ciptaan-Nya sesuai dengan rancangan-Nya yang ajaib dengan penuh tanggun jawab; baik pada waktu alam itu dalam keadaan baik maupun dalam keadaan rusak.
II. PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
Berdasarkan alasan teologis tersebut, maka penting juga untuk diketahui beberapa pandangan tentang alam atau lingkungan hidup, sehingga dapat memberikan penilaian yang obyektif dan untuk menghindarkan sikap saling menuduh seperti yang dituduhkan kepada orang kristen.
A. Pandangan Materialistik (Antroposentris)
Sebagian besar orang ateis adalah penganut paham materialis, meskipun tidak semua penganut materialis adalah ateis. Karena itu dasar filsafat dari pandangan materialistik mengenai lingkungan muncul dari pandangan dunia seorang ateis atau humanis sekuler. Pandangan seperti itu diungkapkan di dalam Humanist Manifesto I (1933). Setelah menyangkal Pencipta dan aspek spiritual yang khusus dalam diri manusia, pandangan ini menegaskan optimisme yang tak terbatas dalam kemampuan manusia untuk memecahkan masalahnya sendiri. Dalam Humanist Manifesto I dan II ditekankan bahwa:
“Dengan menggunakan teknologi secara bijak, kita dapat mengontrol lingkungan kita, mengatasi kemiskinan, nyata-nyata mengurangi penyakit, memperpanjang jangka hidup kita, secara signifikan mengubah tingkah laku kita, mengubah rangkaian evolusi manusia dan perkembangan budaya, membuka kekuatan-kekuatan baru yang sangat banyak dan menyediakan umat manusia dengan kesempatan-kesempatan yang tidak ada bandingannya untuk mencapai suatu kehidupan yang berlimpah-limpah dan penuh hati”.[10]
Beberapa pandangan materialistik mengenai lingkungan diantaranya:[11]
1. Dunia fisik itu kekal dan tidak diciptakan karena secara historis eksistensi alam dan sumber-sumbernya itu dianggap pasti. Salah satu acuan pandangan ini adalah bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan. Pernyataan ini mengandung makna bahwa jika energi tidak diciptakan, maka tidak ada Pencipta, dan karenanya tidak ada perintah dari atas untuk menggunakannya dalam satu cara yang khusus.
2. Energi tidak terbatas. Artinya bahwa jika energi itu tidak dapat dihancurkan, maka tidak dapat dirusakkan, dan jika tidak dapat dirusakkan, maka energi itu tidak akan pernah habis.
3. Teknologi manusia dapat memecahkan hampir setiap masalah. Ilmu pengetahuan dapat memecahkan semua masalah manusia. Hal ini melahirkan optimisme yang tidak terbatas, seperti yang ditegaskan oleh Adrian Berry bahwa, “Tidak ada batasan untuk berkembang, dan tidak ada batasan untuk apa yang dikerjakan bangsa-bangsa yang sedang berkembang”.[12]
Pandangan materialistik bertitik tolak dari pandangan antroposentris yaitu manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Lingkungan hidup mempunyai makna hanya untuk kepentingan manusia. Atas dasar itu, manusia hanya memikirkan kepentingannya sendiri.[13]
B. Pandangan Panteistik (Ekosentris)
Panteistik adalah keyakinan bahwa Allah adalah semua dan semua adalah Allah. Pandangan panteistik terhadap lingkungan adalah anti materialistik. Beberapa pandangan pantesitik tentang lingkungan dianataranya: [14]
1. Alam adalah organisme yang hidup karena alam tidak hanya merupakan satu manifestasi dari Allah, tetapi alam itu juga hidup. Kekuatan jiwa atau kehidupan yang menembusnya adalah sautu organisme besar yang hidup.
2. Spesis-spesis yang hidup merupakan manifestasi-manifestasi dari Allah. Karena spesis-spesis yang hidup adalah manifestasi dari Allah maka pada saat satu spesis menjadi punah secara langsung manusia kehilangan salah satu manifestasi Allah.
3. Manusia adalah satu dengan alam. Karena manusia itu satu dengan alam maka manusia harus hidup di dalam keharmonisan dan bekerja sama dengan alam.
4. Manusia bukan raja-raja yang menguasai tetapi pengurus-pengurus alam. Alam tidak berada di bawah wewenang manusia karena alam bukan milik manusia. Dengan demikian maka manusia bukan raja-raja yang menguasai alam tetapi manusia hanya pengurus-pengurus alam.
Segi yang ditekankan oleh pandangan ini adalah pemeliharaan alam atau lingkungan bukan hanya demi manusia melainkan untuk seluruh ciptaan. Oleh karena itu manusia harus menjaga dan memelihara alam untuk kepentingan bersama. [15]
C. Pandangan Agama Kristen (Teosentris)
Pandangan agama Kristen berbeda dengan pandangan materialisme dan panteisme. Pandangan Kristen mengenai alam atau lingkungan bersumber pada Alkitab yang secara jelas mengatakan bahwa alam semesta secara fisik ini baik dan bahwa alam semesta ini merefleksikan kemuliaan Pencipta-Nya (Mzm. 19:1 dan 1 Tim. 4:4). Pandangan agama Kristen tentang alam atau lingkungan adalah:
1. Dunia (alam) adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan dunia ini dari tidak ada (ex nihilo), tetapi alam semesta memiliki satu permulaan (Kej. 1:1)
2. Dunia (alam) ini adalah milik Allah. Tuhanlah yang empunya bumi dan segala isinya (Mzm. 24:1). Allah menjadikan bumi, dan Dia memilikinya. Allah adalah pemilik taman, dan manusia adalah penjaganya. Tuhan berkata kepada Ayub, “Apa yang ada di seluruh kolong langit, adaah kepunyaan-Ku” (Ayb. 41:2). Allah menyatakan “sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya’ (Mzm. 50:10, 12).
3. Dunia (alam) adalah satu refleksi dari Allah. Ciptaan merefleksikan kemuliaan Penciptanya. Alam merupakan refleksi dari Allah. Allah dimana-mana nyata; Dia ada di dalam terang dan kegelapan, di daratan dan di lautan, di ketinggian dan di kedalaman (Mzm. 139:7-12; bdk Roma 1:20).
4. Alam ditopang dan diselenggarakan oleh Allah. Allah tidak hanya menciptakan dunia tetapi Allah juga menopangnya dan menyelenggarakannya (Ibr. 1:3; Kol. 1:7; Mzm. 104:10-14)
5. Alam berada di bawah kovenan Allah. Setelah peristiwa air bah, Allah membuat satu perjanjian dengan semua makhluk yan ghidup (Kej. 9:12). Allah sebagai pemilik segala yang hidup telah membuat satu perjanjian dengan umat manuusia untuk tidak lagi menghancurkan mereka dengan air bah.
6. Manusia adalah penjaga alam. Allah adalah Pencipta dan pemilik bumi, sedangkan manusia adalah pemeliharanya (Kej. 1:28 bdk. Kej. 2:15).
Pandangan agama Kristen terhadap lingkungan seperti yang diungkapkan di atas sekaligus merupakan sanggahan terhadap tuduhan terhadap agama Kristen bahwa kerusakan alam akibat perintah Allah untuk menaklukkan dan menguasai bumi, dan agama kristen adalah agama yang bersifat antroposentris.
Pandangan agama Kristen adalah teosentris bukan antroposentris seperti yang dituduhkan orang karena: Pertama, adanya pengakuan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia adalah ciptaan Allah dan bahwa Allah mempercayakan kepemimpinan kepada manusia untuk mengelola alam dan memelihara ciptaan Allah terebut (kej. 1 dan 2). Kedua, penyalahgunaan kepemimpinan manusia atas ciptaan Allah menyebabkan ia menjadi manusia berdosa, mempraktikkan hidup yang penuh ketakutan skaligus kerakusan, sehingga alam menjadi sasarannya.[16]
Berdasarkan pandangan umum maupun pandangan agama Kristen tentang lingkungan hidup, maka setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup berdasarkan pemahamannya. Setiap pandangan memiliki dasar tanggung jawab etis terhadap kerusakan lingkungan hidup.
III. ALKITAB ADALAH DASAR TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN TERHADAP KERUSAKAN LINGUNGAN HIDUP
Tuhan telah menciptakan segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Tuhan tidak hanya menciptakan segala sesuatu tetapi Tuhan juga memelihara semua ciptaan itu. Dalam kisah penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, dikisahkan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sesuai dengan gambar Allah (Imago Dei) dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu sisi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (alam), akan tetapi di sisi lain, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang karena tidak dapat dipisahkan. Karena mausia adalah bagian integral dari ciptaan, maka Tuhan memanggil manusia untuk menyelenggarakan pemeliharaan-Nya (Kej. 1:26). C.J. Haak mengatkan bahwa, Ciptaan Allah itu harus dilangsungkan dan dikembangkan menurut maksud Allah. Manusia harus berbudaya. Oleh pelaksanaan tugas manusia itu tugas Allah memelihara alam semesta. Oleh karena berkat Tuhan, maka manusia boleh sehat, makan, dll, tetapi sekaligus manusia harus rajin bekerja, menjaga kelestarian alam dan tidak memboroskan miliknya dan waktunya (Ef. 4:8; 2 Tes. 3:5-15).[17]
Pertanyaan yang sederhana terhadap isu lingkungan hidup adalah: Bumi ini milik siapa? Alkitab mmberikan jawaban yang jelas dalam Mazmur 24:1 bahwa “Tuhanlah yang empunyai bumi serta segala isinya”. Selanjutnya dalam Mzmur 115:16 Alkitab memberikan satu jawaban lagi bahwa: “Langit itu langit kepunyaan Tuhan, dan bumi itu telah diberikannya kepda anak-anak manusia”. Berdasarkan dua nas Alkitab di atas, maka dapat diberikan jawaban bahwa bumi ini milik Allah sekaligus milik manusia. Bumi ini milik Allah karena Ia yang menciptkannya, dan bumi ini milik manusia karena Ia telah memberiknnya kepada manusia.[18] Hal ini juga diungapkan oleh J. Patrick Dobel bahwa:
“The first question to address is the status of the earth and its resources. A different way of putting this is “Who owns the earth?” The answer of the entire Judeo-Christian tradition is clear: God. “In the beginning God created the heavens and the earth” (Gen. 1:3). In direct ethical terms God created the earth, and in distributive-justice terms it belongs to him: “The earth is the Lord’s and the fullness thereof” (Ps. 24:1).”[19]
Hal senada ditegaskan pula oleh Douma bahwa:
“God the Lord is the owner of everything. He created heaven and earth (Gen. 1:1-31). The earth and its fullness belong to Yahweh (Ex. 19:5; Pss. 24:1; 50:10). Man rules over the works of God's hands (Ps. 8:6). Everything we have has been given to us. The heavens are Yahweh's; the earth he has given to the children of men (Ps. 115:16).”[20] (Tuhan Alah adalah pemilik dari segalanya. Dia menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1-31). Bumi dan segala sesuatu di dalamnya adalah kepunyaan Yahweh (Kej. 19:5; Mzm. 24:1; 50:10). Manusia memerintah atas semua karya Allah (Maz. 8:6). Segala sesuatu yang kita miliki telah diberikan kepada kita. Langit itu adalah milik Yahweh; dan bumi itu telah diberikan kepada anak-anak manusia (Mzm. 115:16).
Alkitab juga berbicara tentang akhir dari alam semesta ini. Dalam surat 2 Petrus 3:10 dan Wahyu 21 dan 22, jelas dikatakan bahwa langit dan bumi ini akan berakhir dan akan ada langit dan bumi yang baru. Ini berarti bahwa pada hari yang ditentukan Tuhan, dan hanya diketahui Tuhan, maka bumi ini akan berkesudahan. Apa yang dikatakan dalam Alkitab ini tidak dapat dijadikan dasar pembenaran diri terhadap kelalain orang Kristen untuk memelihara alam semesta. Tugas manusia untuk memenuhi bumi dan memeliharanya tetap berlaku. Orang kristen tidak bermaksud untuk mengatur bumi sedemikian rupa sehingga bumi seolah-olah kekal adanya. Sekaligus, manusia tidak diperbolehkan untuk merampas kekayaannya dan hidup sewenang-wenang dan berfoya-foya.
Alkitab sebagai sumber nilai dan moral kristiani menjadi pijakan dalam memandang dan mengapresiasi alam. Alkitab sebenarnya mengajak manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah lainnya, termasuk alam atau lingkungan hidup. Mengapa? Alasannya adalah:
1. Semua ciptaan adalah berharga, cerminan keagungan Allah (Mazmur 104) – Lihat juga Mazmur 145; 147; 149).
Kebesaran Tuhan yang Mahaagung bagi karya ciptaan-Nya tampak dalam Mazmur 104. Perikop ini menggambarkan ketakjuban pemazmur yang telah menyaksikan bagaimana Tuhan yang tidak hanya mencipta, tapi juga menumbuhkembangkannya dan terus memelihara ciptaan-Nya. Ayat 13, 16, 17, dan 18 misalnya, menggambarkan pohon-pohon diberi makan oleh Tuhan, semua ciptaan menantikan makanan dari Tuhan. Yang menarik adalah bukan hanya manusia yang menanti kasih dan berkat Allah, tapi seluruh ciptaan. Di samping itu, penonjolan kedudukan dan kekuasaan manusia atas ciptaan lainnya di sini tidak tampak. Itu berarti bahwa baik manusia maupun ciptaan lainnya tunduk pada kemahakuasaan Allah. Dalam ayat 30, secara khusus dikatakan: "Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi." Kata "roh" sering kali dikaitkan dengan unsur kehidupan, atau hidup itu sendiri. Ini berarti seluruh makhluk ciptaan di alam semesta ini diberikan unsur kehidupan oleh Tuhan. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa bukan hanya manusia yang diberi kehidupan, tapi juga ciptaan lainnya. Betapa berharganya seluruh ciptaan di hadapan Tuhan. Roh Allah terus berkarya dan memberikan kehidupan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sebagai Pencipta, Allah sesuai rencana-Nya yang agung telah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan maksud dan fungsinya masing-masing dalam hubungan harmonis yang terintegrasi dan saling memengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya, sebab semua ciptaan berharga di mata Tuhan. Jadi, sikap eksploitatif terhadap alam merupakan bentuk penodaan dan perusakan terhadap karya Allah yang agung itu.
2. Sarana fisik penciptaan manusia dan binatang adalah tanah (Kejadian2:7; 19).
Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam kisah tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut ~d'a' “adam”. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah atau permukaan bumi yaitu, hm'(d"a]'( "adamah".[21]
Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) saling bergantung sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.
Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan sesuai dengan gambar Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15).
Jadi, manusia memiliki kuasa yang lebih besar dari pada makhluk yang lain. Manusia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam.
Sebaiknya manusia memberlakukan alam secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.
IV. BUMI DIKUTUK KARENA DOSA DAN KETIDAKTAATAN MANUSIA
Kesaksian Alkitab tentang penciptaan manusia sebagai gambar Allah segera disusul dengan kesaksian Alkitab tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3) dan menjalarnya dosa kepada seluruh umat manusia (Kej. 4-11). Tujuan penciptan manusia adalah untuk memuliakan Allah melalui tugas menatalayani, yaitu memerintah dan memelihara alam secara bertanggung jawab. Namun manusia menyalahgunakan tanggung jawabnya untuk kepentingan, kehormatan dan kemuliaan sendiri. Ini adalah pemberontakan, dan pemberontakan adalah dosa.
Ketika Nabi Yesaya menggambarkan kedahsyatan kuasa Allah atas hidup manusia, ia menggambarkan bahwa bumi akan menjadi tandus jika manusia melanggar ketetapan Allah. Dalam Pasal 24-27, nabi Yesaya menulis puisi bergaya bahasa apokaliptik. Tulisnya, "TUHAN akan menanduskan bumi dan akan menghancurkannya.... Bumi akan ditanduskan setandus-tandusnya...." (Yes 24:1,3). Tentang lambang kehidupan, yaitu pohon anggur, ia menulis, "... pohon anggur merana" (ay 7). Tulisnya, "Bumi cemar karena penduduknya, sebab mereka melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan mengingkari perjanjian abadi" (ay 4). Tetapi, sebagai nubuat akhir zaman, Yesaya memberikan pengharapan jika manusia bertobat, yaitu "kalau putri malu dan rumput...mencari damai dengan Aku, ya mencari damai dengan Aku!....Yakub akan berakar, Israel akan berkembang dan bertunas" (27:5-6).
Widyapranawa memberikan tafsiran atas Yesaya 24:3-5 bahwa: “Bumi dan penduduknya (manusia) merupakan satu kesatuan yang erat; harus menanggung bersama akibat dari penghukuman Tuhan. Bumi menjadi tandus sehingga tidak lagi menghasilkan apa-apa karena kehabisan air. Kekeringan dan kelayuan merupakan kutuk Allah. Dan semua ini disebabkan oleh pemberontakan dan kedurhakaan umat manusia. Gereja sebagai umat-Nya yang terpilih telah mengingkari “perjanjian kekal-Nya”.[22]
Dalam pandangan Tuhan, bumi sudah dinilai “cemar”. Bumi dicemarkan oleh dosa manusia dalam segala bentuknya: penumpahan darah orang yang tidak bersalah (Kej. 9:6), perzinahan dan kejahatan (Yer. 3:2), penyembahan berhala kayu dan batu (Yer. 3:9), dan sebagainya. Borrong menegaskan bahwa, “manusia semakin haus dan rakus akan materi yang dapat diambilnya dari alam dan bersifat materialistis. Jadi, kerusakan lingkungan hidup berakar dalam polusi moral spiritual”.[23]
Dengan demikian maka kerusakan lingkungan berakar dalam kehidupan manusia yang tercemar oleh kecenderungan pada yang jahat sbagai akibat pemberontaannya kepada Allah.
Manusia ditempatkan di bumi untuk memelihara bumi. Tetapi, jika manusia merusak dan mencemarkan bumi, maka bumi akan menjadi tandus lalu manusia sendiri akan terkena akibatnya. Kelangsungan hidup terancam punah. Berdasarkan nas ini maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan telah memberikan undang-undang dan ketetapan dalam Alkitab yang adalah firman Allah bagi orag Kristen, maka orang Kristen bersalah jika alam rusak. Karena wahyu ini telah Tuhan singkapkan bagi orang Kristen untuk ditaati dan disampaikan kepada orang lain.
V. TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN
A. Membangun Hubungan Baru Manusia-Alam
Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya yaitu ko,smoj (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut lo,goj (logos) Firman penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta = ta panta) atau dunia (ko,smoj = kosmos) ini (Kol. 1:19- 20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam.
Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes. 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos. 2:18-23) telah dipenuhi dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka dalam iman Kristen, hubungan baru manusia dengan alam bukan saja hubungan "dominio" (menguasai) tetapi juga hubungan "comunio" (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam, yaitu "air, angggur, dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Allah.
Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus mengarahkan manusia pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" (Why. 21:1-5) yang menjadi tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.
Gereja adalah persekutuan orang percaya. Gereja juga adalah organisasi yang bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dikemukan oleh John FoEh bahwa Gereja pada hakekatnya harus mengantar umatnya untuk berdamai dengan alam dan lingkungannya untuk menjamin ekosistemnya agar berada dalam kesimbangan sebagaimana awal penciptaan terjadi.[24] Hubungan baru Manusia dengan alam tercipta melalui hal-hal berikut:
1. Solider dengan Alam
Karena manusia dengan alam adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor. 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam.
Dari segi teologi penciptaan manusia dengan alam mempunyai hubungan yang sangat erat. Itulah sebabnya manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan Allah, sekalipun manusia diberikan wewenang menaklukkan alam.[25]
Hubungan solider berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara itu, manusia dan alam secara bersama (kooperatif) menjaga dan memelihara ekosistem .
Implementasi dari solidaritas tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk berdisiplin dalam membuang sampah atau limbah baik individu, rumah tangga, kantor maupun industri agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Pencemaran atau polusi mestinya dicegah, diminimalisir, dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau rusak.
Sikap solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai (respek) alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi cerminan kemuliaan Allah. Menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta dan Sang Penebus.
Contoh konkret misalnya tidak membabat hutan sembarangan sebab membabat hutan dapat memusnahkan aneka ragam spesies dalam hutan. Contoh lain, tidak menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak atau bahan pemusnah lainnya. Sebaliknya, usaha menghargai dapat dilakukan melalui usaha-usaha kreatif mendukung dan melindungi kehidupan seluruh makhluk dan lingkungan hidup. Misalnya dengan tidak hanya penghijauan, pembudidayaan, tetapi juga usaha pemulihan dengan membersihkan lingkungan yang terlanjur rusak. Intinya, sikap solidaritas dengan alam dapat ditunjukkan dengan pola hidup berdisiplin dalam menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem secara konstan.
2. Melayani dengan Penuh Tanggun Jawab
Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan, dipakai atau digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber- sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka pemanfaatan atau penggunaan sumber-sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan, yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan memperhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.
Kata "mengusahakan" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani Hd"Þb.['l. "leovdah" (Kata Kerja Qal Infinitif Constructus Feminim Orang Ketiga Tunggal, dari Kata Dasar db[), yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris “to work’ berarti bekerja, melayani, yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi.[26] Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab yaitu memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal “mengusahakan” db'[; (avod) dan “memelihara” rm;;;v; ("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan dan kepemimpinannya pada manusia.
Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan dan dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat. 25:14-30). Allah telah mempercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai, untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal.
Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang akan mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering kurang memperhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, mengebom bunga karang untuk ikan, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan pengurasan sumber alam tanpa batas.
Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan pertanggungjawaban talenta akan mendorong orang Kristen untuk melestarikan sumber-sumber alam, sekaligus melakukan keadilan terhadap sesama. Hal ini menjadi jelas ketika manusia dilihat sebagai sorang penatalayan (pengurus) karena manusia mengurus hal-hal yang baik untuk sesama. Frasa mengurus sebagai deskripsi posisi manusia dalam huungannya dengan Allah. Seperti yang ditegaskan oleh Douma bahwa:
“This becomes clearer when we view man as a steward. He manages the goods belonging to Another. The term steward, as a description of man's po-sition in relation to God, appears nowhere in the Bible”.[27]
Contoh konkret: manusia hemat dalam menggunakan sumber-sumber alam (bahan bakar fosil, hutan, mineral, dan sebagainya) agar tetap mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain secara berkesinambungan. Penghematan ini tidak hanya berarti penggunaan seminimal mungkin sumber-sumber alam seperti air, energi, kayu, dan sebagainya sesuai kebutuhan, tetapi mencakup pula pola hidup mengurangi, menggunakan ulang, mendaur ulang, dan mengganti sumber- sumber alam yang dipergunakan setiap hari.
Dunia modern yang sangat praktis mengajarkan sikap memakai lalu membuang. Sayangnya, yang sering dibuang itu adalah yang semestinya masih berguna kalau didaur. Tidak jarang pula yang dibuang itu sekaligus merusak lingkungan, misalnya bahan kimia atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu, bahan-bahan yang merusak alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan tidak dibuang sembarangan.
3. Pertobatan dan Pengendalian Diri
Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis/krisis lingkungan.
Dengan demikian, setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang agama Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh kasih kepada Allah, sesama, diri sendiri dan alam.
Dalam hal ini apa yang ditulis Ronald Higgins dalam bukunya “The Seventh Enemy” sangatlah penuh arti. Sebab keenam musuh yang pertama adalah ledakan penduduk, krisis pangan, kelangkaan sumber daya, kemerosotan lingkungan, penyalahgunaan teanaga nuklir dan teknologi ilmiah dapat diatasi kalau musuh yang ketujuh yaitu manusia dapat mengndalikan diri.[28]
Materialisme adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Maka materialisme menjadi praktik penyembahan alam atau dapat disebut sebagai dinamisme modern. Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang diprioritaskan bahkan disembah menggantikan Allah. Yesus Kristus mengingatkan bahaya mamonisme (cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat. 6:19-24; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan material.
Agar alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern yaitu materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.
KESIMPULAN
Ada tiga pandangan utama mengenai alam, dan setiap pandangan muncul dari satu pandangan dunia yang berbeda. Pandangan materialistik yang bersifat antroposentris memandang alam sebagai sumber energi yang tidak terbatas, sehingga alam harus dieksploitasi dengan bebas. Pandangan panteistik yang bersifat ekosentris mempercayai bahwa alam itu adalah Allah, sehingga manusia wajib memuja alam dan melindunginya dari campur tangan teknologi. Pandangan agama Kristen yang bersifat teosentris berpandangan bahwa Allah adalah Pencipta dan manusia adalah pemelihara dan menjaga alam sebagai pemancar kemuliaan Allah. Manusia bertanggungjwab untuk menjaga bukan merusak, untuk memelihara bukan untuk mengotori alam.
Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan untuk digunakan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk menopang hidupnya. Dengan kata lain, alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi bukan hanya kebutuhan manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau ekosistem. Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh seluruh ciptaan lainnya. "Ekumene" berarti mendiami rumah; itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. "Ekologi" berarti mengetahui/menyelidiki rumah; itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap alam.
Manusia adalah penata dalam rumah bersama ini. Pertama, ia adalah pengelola ekonomi, tetapi ia lebih dikuasai oleh kerakusan. Karena itu, diperlukan pembaruan atau pertobatan dan pengendalian diri supaya timbul sikap respek dan tindakan penuh tanggung jawab terhadap lingkungan. Maka tanggung jawab Kristen dalam memelihara kelestarian alam kiranya dapat pula dirumuskan dalam sikap bertobat, menahan diri, menghormati, dan bertanggung jawab. Ibadah yang sejati adalah ibadah yang dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab dalam hidup yang nyata.
Dalam menata kehidupan bersama, umat Kristen harus bermitra dengan semua orang, bahkan dengan semua makhluk (ekumene). "Ekumene" berarti bekerja bersama membangun kehidupan di atas planet ini. Tugas itu adalah tugas bersama semua orang dan seluruh ciptaan. Maka tugas orang Kristen adalah memberi kontribusinya sesuai dengan iman dan pengharapan kepada Allah, memperkaya dan mengoptimalkan ibadahnya dengan terus-menerus menjaga dan memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Optimalisasi ibadah itu dinyatakan dalam bentuk disiplin, penghematan, dan pengendalian diri.
Dengan mengemukakan pemikiran-pemikiran yang sudah sangat teknis ini hendak dinyatakan bahwa secara konsepsional, sikap Kristen terhadap kerusakan lingkungan sudah sangat jelas yakni melihat kerusakan lingkungan sebagai akibat dari ulah manusia dan karena itu menyebut perbuatan merusak lingkungan sebagai dosa. Sebaliknya, usaha memelihara lingkungan hidup dipahami sebagai kebajikan dan karena itu disebut sebagai ibadah kepada Tuhan. Memelihara lingkungan adalah bagian dari misi Allah dalam menghadirkan damai sjahtra Kerajaan Allah. Maka orang Kristen, secara sendiri-sendiri atau sebagai institusi, wajib menjaga dan memelihara lingkungan hidup. Ditinjau dari segi doktrin atau pemahaman iman Kristen, maka kepedulian terhadap lingkungan hidup tidak lagi perlu dipertanyakan. Barangkali yang menjadi persoalan adalah praktek dalam kehidupan sehari-hari setiap orang.
Menurut pendapat penulis ada berbagai faktor yang menyebabkan masih kurangnya kepedulian terhadap krisis lingkungan hidup, antara lain:
1. Keyakinan iman belum diimplementasikan dalam keseharian hidup. Agama masih bersifat seremoni atau baru pada tahap pengakuan iman. Semua orang mengetahui dan meyakini bahwa lingkungan hidup adalah anugerah Tuhan yang harus dipelihara, tetapi perilaku hidup sehari-hari tidak sejalan dengan pengetahuan dan keyakinan itu.
2. Pengaruh yang sangat kuat dari semangat konsumtif, materialistis, dan hedonistis, sehingga masih lebih mengutamakan kenikmatan hidup dan belum pada tahap penghargaan kehidupan secara utuh.
3. Pengetahuan orang Kristen yang masih sangat kurang mengenai permasalahan kerusakan lingkungan, baik karena faktor tingkat pendidikan maupun karena faktor kurangnya penyuluhan dan informasi.
4. Kurangnya penggerak, dalam hal ini pemimpin yang peduli lingkungan di lapangan. Banyak pemimpin tidak konsisten sehingga masyarakat tidak punya panutan, sementara para pemimpin agama memang terbatas pada kemampuan pembinaan (teori) dan kurang pada kemampuan lapangan (praktis).
5. Kurangnya koordinasi yang baik antar lembaga agama, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah sehingga gerak bersama belum terwujud sebagaimana yang diharapkan.
Kalau lima faktor ini sudah dapat ditanggulangi maka persoalan lingkungan hidup akan dapat diminimalkan bahkan dapat diatasi.
Tugas gereja dan tugas manusia secara individu sebagai penatalayan ciptaan Allah terpanggil untuk malaksanakan tugas pemeliharaan dan pelestarian lingkungan dengan setia sehingga lingkungan ataua alam yang dipercayakan Allah kepada manusia dipeliahara secara bertanggung jawab, demi kelangsungan hidup semua ciptaan Allah pada masa kini dan di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Berry; Adrian, The Next Ten Thousand Years; New York: Dutton, 1974
Bororng; Robert P., Etika Bumi Baru; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
----------------------; http://reformed.sabda.org; 28-8-2009
Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis Bagi Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Derr, Thomas Sieger. Ecology and Human Liberation; Geneva: WCC, 1973.
Dobel; J. Patrick; Stewards of the Earth’s Resources: A Christian Response to Ecology in Christian Century- October 12, (Michingan: Christian Century Foundation), 1977
Douma; J., The Ten Commandments; Philipsburg: P&R Publishing, 1996
Drummond, Celia-Dianne. A Handbook in Theology and Ecology; London: SCM Press, 1996.
Franco Zocca dan Georg Kirchberger dalam Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, eds. Mendengarkan dan Mewartakan; Flores: Nusa Indah, 2003
Geisler;Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu; Malang: SAAT, 2003
Haak, C.J. Dogmatika Reformasi, (Kampen: TP, 1990), hal. 163
Harian Pagi Papua Selatan Pos, tanggal 7 Desember 2009
Holladay;William L. A Concise Hebrew and Aramic Lexicon of The Old Testament; Leiden: E.J. Brill; 1988
Kurtz; Paul, ed. Humanist Manifestos I and II Buffalo: Prometheus, 1973
Salim; Emil. Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa, 1987.
Simamora; Ranto G., Misi Kemanusiaan dan Gloablisasi; Bandung: Ink Media, 2006
Stott; John; Isu-isu Global Menenatang Kepemimpinan Kristisni; Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1996
Tim PGI; Tuhan itu Baik kepada Semua Orang; Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2009
Wesley Granberg-Michaelson, Ecology and Life; Waco: Word, 1988
White; Lynn Jr.; The Historical Roots of Our Ecological Crisis; 1988
Widyapranawa, S. H.; Tafsiran Alkitab: Yesaya 24:1-39; Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2006
[1] Robert P. Borrong; Etika Bumi Baru; (Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2009); hal. 3
[2] Robert P. Borrong; http://reformed.sabda.org; 28-8-2009
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Jhon Stott; Isu-isu Global Menenatang Kepemimpinan Kristiani; (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1996); hal. 148
[6] Harian Pagi Papua Selatan Pos, tanggal 7 Desember 2009; hal. 1
[7] Ibid, hal 2
[8] Franco Zocca dan Georg Kirchberger dalam Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, eds. Mendengarkan dan Mewartakan (Flores: Nusa Indah), 2003, hal.535
[9] Lynn White, Jr.; The Historical Roots of Our Ecological Crisis; dalam Norman L. Geisler; Etika Kristen: Pilihan dan Isu; (Malang: SAAT, 2003) hal. 394
[10] Paul Kurtz, ed. Humanist Manifestos I and II (Buffalo: Prometheus, 1973), hal. 14; dalam Norman L.Geisler; Etika Kristen: Pilihan dan Isu; (Malang: SAAT), 2003, hal. 375
[11] Adrian Berry; The Next Ten Thousand Years (New York: Dutton, 1974), p. 59
[12] Ibid
[13] Robert Borrong; Etika Bumi Baru; Op. Cit., hal. 151
[14] Norman L. Geisler; Etika Kristen: Pilihan dan Isu; (Malang: SAAT), 2003, hal. 382
[15] Robert Borrong; Etika Bumi Baru; Op. Cit. hal. 153
[16] Op. Cit., hal. 160
[17] C.J. Haak, Dogmatika Reformasi, (Kampen: TP, 1990), hal. 163
[18] John Stott; Op. Cit.; hal. 150
[19] J. Patrick Dobel; Stewards of the Earth’s Resources: A Christian Response to Ecology ; In Christian Century, October 1977, (Michingan: Christian Century Foundation); p. 906
[20] J. Douma, The Ten Commandments; (Philipsburg: P&R Publishing, 1996); p. 295
[21] William L. Holladay; A Concise Hebrew and Aramic Lexicon of The Old Testament; Leiden: E.J. Brill; 1988; p. 4
[22] S.H. Widyapranawa; Tafsiran Alkitab: Yesaya 24:1-39; (Jakarta: BPK Gunung Mulia); 2006, hal. 153-154
[23] Robert P. Borrong; Etika Bumi Baru; Op. Cit., hal. 253
[24] John FoEh, dalam Tuhan itu Baik kepada Semua Orang; (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), 2009; hal. 162
[25] Robert Borrong; Etika Bumi Baru; Op. Cit. hal. 166
[26] Ibid, p. 261
[27] Douma, Op. Cit. p. 297
[28] Stott, Op. Cit. hal. 164
Ditulis oleh Pdt. Martinus Manek Nikan, M.Div
BalasHapus